Salah satu tagline program yang dibahas dalam kegiatan Rapat Kerja Badan Wakaf Indonesia (BWI) Tahun 2024 pada 6-7 Juni 2024 di Bogor adalah “Gerakan
Salah satu tagline program yang dibahas dalam kegiatan Rapat Kerja Badan Wakaf Indonesia (BWI) Tahun 2024 pada 6-7 Juni 2024 di Bogor adalah “Gerakan Indonesia Berwakaf”. Tema yang dipantik dan ditawarkan oleh Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA., selaku Ketua BWI Periode 2024-2027.
Tema tersebut layak dielaborasi lebih lanjut dari sisi basis epistemologis, argumentasi, relevansi, dan berbagai prasyarat yang memungkinkan gerakan tersebut dapat dilaksanakan.
Mengapa harus gerakan?
Wakaf adalah salah satu pranata sosial dalam Islam yang dikategorikan dalam maaliyyah ijtima’iyyah yang memiliki potensi strategis bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Berbagai data dan kajian tentang potensi wakaf yang dilakukan oleh berbagai lembaga yang otoritatif menunjukkan bahwa wakaf memiliki potensi yang sangat besar. Sistem Informasi Wakaf (SIWAK) Kementerian Agama RI mencatat 440,512 ribu titik lokasi tanah wakaf dengan luas mencapai 57,763 hektar. Potensi wakaf uang atau wakaf tunai di Indonesia menurut berbagai kajian yang mana salah satunya dilakukan oleh BWI, menunjukkan potensi proyeksi wakaf uang nilainya cukup fantastik yaitu sekitar 180 triliun rupiah per tahun.
Ibarat raksasa tidur (the sleeping giant), wakaf memiliki potensi yang luar biasa, jika digerakkan dan dikelola secara baik dan profesional dalam perspektif “economic corporation“, wakaf adalah modal raksasa yang dapat manfaatkan secara berkelanjutan yang bersifat abadi karena ada jaminan yuridis dan teologis yang menjaga aset wakaf tetap dalam statusnya sebagai “aset produktif” dan melarang mengubahnya menjadi barang konsumtif habis pakai.
Salah satu cara efektif untuk membangunkan raksasa tidur adalah dengan menggelorakan teriakan massif melalui “gerakan kolektif” untuk mengamplifikasi literasi dan keasadaran ber-wakaf ke seluruh penjuru negeri.
Dengan kata lain, upaya menggali potensi besar perwakafan nasional, baik aset wakaf tidak bergerak maupun wakaf uang, tidak cukup (hanya) dengan pendekatan program dan kegiatan yang bersifat parsial-sektoral jangka pendek, yang kadang dikesani berbasis project semata, dan cenderung seremonial formal. Lebih dari sekedar itu, ikhtiar membangunkan potensi raksasa wakaf yang tidur, membutuhkan “gerakan massif-kolektif” yang permanen, dan melibatkan segenap komponen kekuatan bangsa, tanpa kecuali.
Inklusivitas Wakaf
Kendatipun istilah dan konsep wakaf berasal dari Islam, namun keberadaan dan keterlibatan penganut agama dan kepercayaan lain dalam wakaf memiliki landasan yuridis dan argumen teologis yang kuat.
Tujuan dan fungsi wakaf menurut Pasal 5 UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum yang dimaksud tentu saja tidak terbatas bagi kalangan ummat Islam saja.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama berkaitan dengan kebolehan ummat agama lain untuk menerima manfaat wakaf. Bahkan, tidak hanya manusia, diketahui dalam sejarah, bahkan hingga kini, ada beberapa aset wakaf yang sebagian hasil pengelolaannya dialokasikan untuk makanan burung, kucing, dan anjing. Salah satunya adalah aset wakaf Pasar Kozahan di Kota Bursa Turki.
Nazhir atau pihak yang menerima dan mengelola wakaf adalah satu-satunya “para pihak” atau “rukun” dalam wakaf yang secara eksplisit dalam Pasal UU Wakaf disyaratkan harus beragama Islam. Namun, dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dapat bekerjasama dengan “pihak lain” (Pasal 45 PP 42 Tahun 2006). Pihak lain yang dimaksud tentu saja boleh jadi “mitra kerja” non-muslim, sepanjang kerjasama tersebut dilakukan secara jujur, saling menguntungkan, dan tidak melanggar syariat Islam.
Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain secara eksplisit tidak mensyaratkan keharusan beragama Islam (Muslim) bagi para pihak ketika berakad atau berbisnis. Syarat pemilik modal atau investor menurut beliau haruslah orang yang cakap untuk mewakilkan (ahliyyatut tawkil), sedang pengelola modal haruslah orang yang cakap untuk menjadi wakil (ahliyyatut tawakkul). (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, Bairut, Darul Fikr, halaman 254).
Kalangan Ulama Madzhab Syafi’i yang dikenal sangat ketat dan hati-hati, membolehkan wakaf dari non-Muslim, bahkan wakaf untuk masjid sekalipun. Syarat Wakif adalah mukhtar, orang yang secara sukarela berwakaf, tanpa paksaan, dan ahlu tabarru’ (cakap melakukan kebajikan). (Lihat: Syekh Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab bi Syarhi Manhajith Thullab, Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1418 H, juz I, halaman 440).
Sebagian Ulama dari kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali juga berpendapat bahwa yang menjadi acuan dalam wakaf adalah qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah) sesuai dengan pandangan Islam, baik itu selaras dengan keyakinan pemberi wakaf atau tidak. (Lihat: Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Damaskus, Darul Fikr, cet ke-XII, juz X, halaman 330).
Dus, “Gerakan Indonesia Berwakaf” bukan monopoli dan urusan ekslusif Ummat Islam semata, namun sejatinya secara substantif bersinggungan dengan kepentingan seluruh komponen bangsa, tanpa kecuali.
Potensi wakaf tunai yang sangat besar, jika dapat direalisasikan dan dikelola secara baik dan profesional, akan menjadi soko guru perekonomian Indonesia di masa depan. Tanah wakaf yang sangat luas dan jumlahnya terus bertambah, jika dapat dioptimalkan dengan pengelolaan yang baik dan profesional, khususnya di sektor produktif dan pelayanan publik yang akan dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh komponen bangsa, tanpa kecuali.
Wakaf dan Energi Kolektif
Socrates, seorang filsuf Yunani konon pernah mengatakan bahwa “kebaikan akan menyatukan orang-orang yang mencintainya, meskipun mereka sedang dalam keadaan saling memarahi dan membenci”.
Berbagai literatur yang menjadi rujukan pembelajaran akhlak di Pondok Pesantren menyebutkan bahwa di antara faktor yang dapat memperkuat kerukunan, persatuan, dan persaudaraan adalah “al-birr” (kebaikan) dan “al-ihsan ila an-nas”, berbuat baik kepada sesama.
Al-birr (kebaikan) adalah satu istilah yang sangat dekat dan melekat dengan wakaf. Berbagai literatur menyebutkan bahwa landasan dan atau dalil wakaf antara lain mengacu kepada Surah Ali ‘Imron ayat 92, yang artinya: “Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh al-birr (kebajikan yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya.
Setelah Ayat tersebut turun, Sahabat Abu Thalhah RA menghadap kepada Rasulullah SAW untuk untuk “konsultasi” berkaitan dengan “Bairuhaa”, kebun miliknya yang sangat strategis dekat Masjid Nabawi dan memiliki sumber air tawar yang kerap kali didatangi oleh Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Ayat tersebut juga menginspirasi dan memotivasi Amirul Mu’minin Sahabat Umar Ibn Khattab RA untuk mewakafkan tanahnya yang sangat subur dan berharga di Khaibar. (Lihat antara lain: Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Asy-Syarhul Mumti’ Kitab al-Waqf, Riyad, Dar Ibn Jauzi, halaman 5-6).
Menurut Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, Ibnu Umar menceritakan bahwa Rasulullah SAW memberikan saran Kepada Sahabat Umar Ibn Khattab RA dan Abu Thalhah RA, dengan ungkapan: “in syi’ta habasta ashlaha wa tashadaqta biha”, jika engkau mau, engkau dapat menahannya dan menyedekahkan hasilnya.
Menurut Ibnu Umar, tanah tersebut kemudian ditahan, tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan, dikelola, dan hasilnya dibagikan kepada kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil, dan para tamu. Pengelolanya juga diperkenankan memakan atau memberi makan kerabatnya dari sebagian dari hasil pengelolaan kebun tersebut secara ma’ruf (wajar), tidak berlebihan.
Solusi yang ditawarkan oleh Rasulullah SAW dinilai sangat “cerdas”, dengan menempatkan satu aset sebagai public goods–dimana tidak ada satu orang pun yang merasa memiliki “hak lebih” atas aset tersebut. Tatanan norma tersebut akan melahirkan kesadaran dan kepedulian kolektif untuk memelihara dan menjaga keabadaian aset. Itulah kenapa saat ini kita masih dapat menyaksikan berbagai peninggalan bangunan atau artefak dari jejak peradaban masa lalu, karena adanya tatanan sosial atau aturan yang melindungi aset bersama tersebut.
Secara teoretik, dalam diskursus politik ekonomi, public goods bersinggungan dan memiliki hubungan fungsional dengan common good (kebaikan bersama) yang membingkai dan menyatukan berbagai kepentingan individu dalam wadah kolektif untuk tujuan yang lebih tinggi, berupa keadilan, kebajikan, dan kesejahteraan bersama.
Dalam wacana keseharian, common good (kebaikan bersama) biasanya berbentuk fasilitasbaik secara materi, budaya, atau kelembagaanyang diberikan atau disediakan oleh anggota suatu komunitas kepada semua anggota untuk memenuhi kewajiban relasional antar anggota untuk mewujudkan kepentingan tertentu yang disepakati bersama.
Gerakan Indonesia Berwakaf adalah salah satu solusi cerdas dan potensial untuk mewujudkan common good (kebaikan bersama) melalui penyediaan public goods yang dijaga dan dimanfaatkan bersama. Langkah tersebut pada gilirannya akan memperkuat “energi kolektif” bangsa.
Kesadaran dan panggilan untuk berwakaf, sebagaimana diteladankan oleh Sahabat Abu Thalhah RA dan Sahabat Umar Ibn Khattab RA adalah wujud dari mental dan sikap “altruistik” atau al-Itsar, sikap tidak mementingkan diri sendiri dan siap berkorban untuk menolong orang lain.
Altruisme atau al-Itsar adalah fondasi dan prasyarat penting untuk mewujudkan berbagai cita-cita mulia, misalnya tentang “al-Takaful Al-Ijtima’i” yang diamanahkan oleh al-Qur’an; tentang “jaminan sosial” yang diamanahkan kepada negara melalui Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, hingga komitmen global tentang “Universal Coverage” yang merupakan salah satu target yang dicanangkan PBB dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Dus, “Gerakan Indonesia Berwakaf” tidak sebatas pada ranah mobilisasi gerakan yang berdimensi fisik-material untuk tujuan mengumpulkan uang dan harta benda wakaf, namun lebih dari itu, gerakan itu harus dibaca juga sebagai gerakan “revolusi mental” untuk memperkuat energi kolektif bangsa melalui penguatan kepekaan, kepedulian, solidaritas kebangsaan, dan kemanusiaan
Beberapa Prasyarat
Berbagai kajian tentang Gerakan Sosial, misalnya yang dilakukan oleh Stolley (2005) menyebutkan bahwa efektivitas sebuah gerakan sosial, selain harus ada “isu” atau “ide”, gagasan yang akan diperjuangkan, sebuah gerakan harus didukung jaringan komunikasi untuk penyebaran ide-ide gerakan; Harus ada pemimpin (leader) sebagai “penggerak”, dan harus ada upaya untuk mengorganisasi kelompok-kelompok yang tertarik (interested groups) ke dalam suatu gerakan.
Ide atau gagasan yang mendasari “Gerakan Indonesia Berwakaf adalah fakta tak terbantahkan bahwa aset dan potensi wakaf sangat besar, jumlah aset wakaf tidak bergerak berupa tanah angkanya terus bertambah, dalam catatan BWI (Tahun 2023) pertumbuhannya mencapai 8 persen per tahun, potensi wakaf tunai (wakaf) uang juga mencapai 180 triliun. Proyeksi optimistik tersebut memiliki dasar antara lain publikasi Global Charities Aid Foundation tahun 2023 yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara paling dermawan di dunia, yakni menempati peringkat pertama berdasarkan World Giving Index 2023.
Oleh karena itu, seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa “Gerakan Indonesia Berwakaf” adalah teriakan massif melalui gerakan kolektif untuk membangunkan “raksasa tidur” yang bernama potensi wakaf. Dalam konteks tersebut, Gerakan Indonesia Berwakaf harus mengamplifikasi berbagai literasi terkait wakaf, potensi dan manfaat wakaf, berbagai best practice dan success story pengelolaan perwakafan, varian pilihan produk investasi wakaf kontemporer, serta gagasan dan rencana pengembangan high impact project wakaf.
Resonansi ide dan informasi tentang “Gerakan Indonesia Berwakaf” akan massif dan efektif jika didukung dengan piranti teknologi terkini dan memanfaatkan berbagai kanal dan media informasi yang diminati oleh masyarakat global. Dalam konteks tersebut, transformasi digital dan pengintegrasian ekosistem perwakafan nasional adalah sebuah keniscayaan.
Ekosistem wakaf nasional saat ini terdiri berbagai elemen komunitas masyarakat dan kelembagaan, privat maupun publik, mulai Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, Kementerian ATR/BPN, Kementerian PUPR, Bank Indonesia, KNEKS, BUMN, Ormas Keagamaan, LSM, Lembaga Pendidikan, Pondok Pesantren, Perbankan, dunia usaha, investor, komunitas Nazhir, emak-emak, generasi millenial dan lain-lain.
Ada komponen ekosistem yang sedang On Fire mencari tahu dan memperbincangkan wakaf, namun tidak sedikit yang belum atau tidak peduli bahkan mungkin curiga dan underestimate kepada wakaf dan gerakan wakaf. Adalah tugas BWI untuk memetakan kondisi dan mengorkestrasi seluruh komponen ekosistem wakaf tersebut.
BWI harus mampu berkolaborasi dan meyakinkan beberapa otoritas kunci dari unsur pemerintahan dalam pengarusutamaan wakaf dan peran strategis wakaf dalam pembangunan, seperti Kemenko Perekonomian, Kemenko PMK, Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ATR/BPN, termasuk DPR, Bank Indonesia (BI), KNEKS, OJK, dan tentu saja Kementerian Agama.
Pada saat yang saya, BWI harus mampu membangun kepercayaan (trust) dari masyarakat dan stakeholders kunci perwakafan, seperti nazhir, LKSPWU, dan Dunia Usaha. Berbagai sentimen negatif, persepsi publik, sengketa dan kasus yang berpotensi menggangu reputasi perwakafan harus segera diklarifikasi dan diselesaikan. Tentu saja tidak mudah. Oleh karena itu BWI harus terus meningkatkan kapasitas SDM dan kelembagaannya.
Penulis: Tatang Astarudin, Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia dan Dosen UIN Sunan Gunung Djati bandung
COMMENTS