Ramai menjadi perbincangan Alfin Faiz, putra Alm. Ustadz Arifin Ilham, diduga menjual aset wakaf yang dikelola keluarganya. Hal ini dinyatakan dalam a
Ramai menjadi perbincangan Alfin Faiz, putra Alm. Ustadz Arifin Ilham, diduga menjual aset wakaf yang dikelola keluarganya. Hal ini dinyatakan dalam artikel di Yoursay Suara.com, berjudul “Heboh Alvin Faiz Putra Mendiang Ustaz Arifin Ilham Dituding Jual Tanah Wakaf”, yang dimuat pada Minggu, (05/02/2023).
Merespon hal tersebut, Sekretaris Badan Wakaf Indonesia (BWI) H. Sarmidi Husna menjelaskan, ketika berwakaf, maka hak atas harta yang diwakafkan tersebut tidak lagi milik pewakaf atau sudah hilang status kepemilikannya. Seperti arti wakaf dalam bahasa arab, yakni berhenti, pindah atau menahan. Maka artinya, jika sudah diwakafkan tidak boleh dipindahtangankan, apalagi diperjualbelikan.
“Lepas bahwa yang disampaikan artikel tersebut benar atau tidak, tapi kalau hal tersebut benar ini sangat memprihatinkan, berdasarkan ketentuan syariat, tanah wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan.” jelasnya.
Diceritakan dalam suatu riwayat, Ibnu Umar r.a pernah memperoleh sebidang tanah di Khaibar. Kemudian beliau mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk meminta nasihat, “ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu, maka apa yang akan engkau perintahkan kepadaku dengannya?”.
Rasulullah menjawab, “jika engkau berkenan, tahanlah pokoknya, dan bersedekahlah dengan hasilnya.”
Maka bersedekahlah Umar dengan hasilnya, sementara untuk pokoknya tidak dijual, dihadiahkan maupun diwariskan Umar menyedekahkan hasilnya untuk orang fakir, budak, kerabat dan orang-orang yang sedang berjuang di jalan Allah. Pengurusnya diperbolehkan untuk menikmati hasilnya dengan cara makruf serta memberikannya kepada teman tanpa meminta harga (HR. al-Bukhari No. 2737).
Kisah inilah yang kemudian menjadi salah satu landasan historis bagaimana wakaf muncul di dunia Islam. Ketika seseorang berwakaf, selain melepas asetnya, aset tersebut diamanahkan kepada nazhir untuk dikelola, dikembangkan, dan dijaga kelestariannya. Untuk itu posisi nazhir menjadi begitu penting, menerima amanah menjaga harta Allah Swt.
“Sudah menjadi kewajiban nazhir ketika menerima tanah wakaf harus mengadministrasikan, melindungi kelestariannya, mengelola dan mentasarufkan hasil manfaatnya. Bukan malah menjualnya.” terang H. Sarmidi Husna lebih lanjut.
Tanah wakaf secara yuridis dilindungi oleh hukum. Pasal 40 UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf secara tegas mengatur bahwa harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: dijadikan jaminan; disita; dihibahkan; dijual; diwariskan; ditukar; atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Perubahan status harta benda Wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan persetujuan BWI.
Secara teologis, tanah wakaf dijaga keabadiannya, makanya di kalangan ulama fiqh secara umumnya menghindari pembahasan tentang istibdal tanah wakaf jangan sampai ada celah dan peluang terjadinya perubahan status atau hilang dan berkurangnya harta benda wakaf
COMMENTS