Implementasi Wakafnomics (Bagian 1)

Implementasi Wakafnomics  (Bagian 1)

Pada rubrik ini edisi April 2022 lalu, telah dijelaskan gambaran singkat mengenai filosofi wakafnomics yang didasarkan pada empat pilar, yaitu : produktivitas, orientasi falah dan maksimisasi maslahah, keadilan ekonomi dan keseimbangan distribusi, dan konsep growth through equity atau pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme berbagi.

Kisah Sedekah Antarkan Ahli Neraka ke Surga
Pertama di Dunia, LSP BWI Gelar Sertifikasi Penyusunan Laporan Keuangan untuk Nazhir
Tingkatkan Pengetahuan Refraksionis Tenaga Medis, RS Mata Achmad Wardi BWI Gelar Pelatihan Myopia Screening Center

Pada rubrik ini edisi April 2022 lalu, telah dijelaskan gambaran singkat mengenai filosofi wakafnomics yang didasarkan pada empat pilar, yaitu : produktivitas, orientasi falah dan maksimisasi maslahah, keadilan ekonomi dan keseimbangan distribusi, dan konsep growth through equity atau pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme berbagi.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana mengimplementasikan konsepsi wakafnomics ini sehingga keempat pilar tersebut bisa ditegakkan dan memiliki dampak positif terhadap penguatan perekonomian suatu bangsa?

Untuk menjawabnya, tentu tidak mudah. Namun menurut penulis, implementasi wakafnomics ini dapat ditinjau dari tiga pendekatan, yaitu pendekatan yang bersifat makro, meso dan mikro. Pada edisi kali ini akan dibahas khusus tinjauan dari sisi pendekatan makro.

Pada pendekatan makro, implementasi wakafnomics memerlukan dukungan kebijakan yang bersifat komprehensif, dengan memanfaatkan dan mengembangkan inovasi instrumen yang dapat memfasilitasi kebijakan yang mendukung penerapan wakaf ini. Ada empat jalur kebijakan yang dapat dimanfaatkan, yaitu kebijakan fiskal, kebijakan moneter, kebijakan pendalaman pasar keuangan, dan kebijakan investasi wakaf. Meski demikian, keempat kebijakan tersebut dapat saling berinteraksi dan saling memengaruhi satu sama lain.

Pada sisi kebijakan fiskal, saat ini yang sudah dikembangkan adalah kombinasi antara wakaf uang dengan sukuk negara, dalam bentuk produk CWLS (Cash Waqf Linked Sukuk) yang sudah memasuki penerbitan seri ketiga untuk ritelnya. CWLS ini juga menjadi bagian dari upaya pendalaman pasar keuangan syariah di Indonesia. Ke depan, perlu dilakukan sejumlah inovasi program wakaf yang dapat memperkuat keterlibatan aset wakaf dalam pembangunan nasional.

Sebagai contoh, penulis ingin mengajak kita mendiskusikan penerimaan wakaf, baik wakaf aset maupun wakaf uang, sebagai bagian dari penerimaan negara maupun penerimaan daerah. Jadi klasifikasi penerimaan negara ditambah posnya, tidak hanya pajak, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), hibah dan lain-lain, namun juga wakaf. Dengan kata lain, masyarakat atau wakif diperbolehkan mewakafkan asetnya, baik aset tetap maupun aset bergerak, kepada negara, dengan konsekuensi negara harus menjaga aset ini selama-lamanya dan tidak boleh dialihkan pada pihak lain, baik domestik maupun asing. Dalam hal ini, peran nazhir negara perlu dipertegas melalui satu pintu, yaitu BWI, baik BWI Pusat maupun BWI daerah.

Adapun peran nazhir lembaga milik masyarakat yang ada, bisa diarahkan sebagai mitra BWI dalam mengelola aset wakaf negara. Sebagai imbal balik bagi wakif sekaligus stimulus untuknya, maka setiap aset yang ia wakafkan, dapat dijadikan sebagai kredit pajak, atau minimal menjadi pengurang pendapatan kena pajak. Karena menjadi pos keempat penerimaan negara, maka secara agregat, total penerimaan negara tidak akan berkurang.

Kebijakan ini juga akan mengubah definisi BMN (Barang Milik Negara), dimana ada tambahan jenis barang yaitu barang wakaf. Adanya BMN wakaf ini memungkinkan untuk dikembangkannya instrumen sukuk-linked wakaf (SLW), dimana instrumen sukuk negara yang menghimpun dana komersial syariah, bisa digunakan untuk membiayai proyek-proyek wakaf yang menjadi underlying asset-nya. Aset-aset wakaf yang idle dan belum produktif, dapat dibuat produktif dengan pengembangan SLW ini.

Pemerintah pun tidak perlu ragu untuk mengembangkan program strategis di atas tanah wakaf melalui suntikan dana APBN/APBD. Belum lama ini, dalam satu kesempatan dialog wakaf di Provinsi Riau bersama BWI Riau, ada salah satu pemerintah kabupaten yang ingin mengembangkan program wisata syariah di atas aset wakaf melalui mekanisme APBD. Namun belum tereksekusi karena terkendala regulasi yang ada saat ini.

Selanjutnya, jalur kebijakan moneter. Saat ini Bank Indonesia telah mengembangkan instrumen SukBI (Sukuk Bank Indonesia) yang digunakan untuk operasi moneter syariah. Penulis mengusulkan untuk mendiskusikan kemungkinan pengembangan CWL-SukBI atau Cash Waqf Linked Sukuk BI. Namun khusus instrumen ini, BUS dan UUS wajib menggunakan wakaf uang yang ada pada mereka untuk bisa membeli instrumen ini. Ini akan mendorong BUS dan UUS untuk terus mengkampanyekan wakaf uang, karena return yang nantinya diperoleh, dapat disalurkan untuk program-program sosial kesejahteraan yang akan semakin memperkuat kedudukan perbankan syariah di tengah masyarakat.

Dengan CWL-SukBI, maka operasi moneter syariah ini tidak hanya berfungsi dalam konteks stabilitas keuangan syariah, namun juga memiliki dampak riil sosial kesejahteraan yang besar. Operasi moneter yang langsung menjangkau kaum dhuafa negeri ini. Indonesia bisa menjadi pionir di dunia untuk hal ini.

Berikutnya, pada sisi kebijakan pendalaman pasar keuangan syariah, penulis juga berharap OJK dapat mendiskusikan kemungkinan pengembangan inovasi wakaf yang berdampak pada shariah financial deepening. Selain SLW yang diterbitkan oleh negara dan atau pihak swasta, OJK bisa mendorong berkembangnya inovasi produk keuangan syariah berbasis wakaf, seperti cash-waqf linked deposit pada industri perbankan syariah, modal ventura berbasis wakaf, wakaf saham, reksadana wakaf, dan lain-lain.

Penulis yakin, ini akan semakin mendorong penguatan sisi sosial dari industri keuangan syariah. Apalagi jika kemudian OJK juga mewajibkan adanya laporan pengelolaan dana ZISWAF oleh industri perbankan dan keuangan syariah, seperti jumlah wakaf uang yang ada. Jika data wakaf uang juga bisa masuk dalam statistik perbankan syariah yang secara reguler dipublikasikan OJK, tentu akan sangat baik.

Terakhir, pada kebijakan investasi, penulis berharap agar Indonesia juga bisa memiliki suatu institusi seperti Lembaga Pengelolaan Investasi Wakaf (LPIW) maupun Lembaga Penjaminan dan Pengembangan Aset Wakaf (LPPAW) untuk mendorong peran besar institusi wakaf. Manfaat bagi negara akan sangat optimal. Misalnya, dengan membuka ruang masyarakat berwakaf untuk proyek pembangunan negara, seperti pembangunan jalan, maka beban biaya APBN untuk pembebasan lahan dapat diminimalisir.

Masyarakat juga akan termotivasi untuk mendapatkan pahala berkelanjutan meski telah meninggal dunia. Ini baru satu contoh saja, belum lagi manfaat sosial ekonomi lainnya yang juga akan sangat besar. Belum lagi kita bisa mengundang masuknya investasi dana wakaf dari berbagai negara ke Indonesia melalui LPIW.

Penulis menyadari bahwa lontaran gagasan di atas hanyalah ide dan pemikiran untuk bagaimana kita bersama-sama membuat terobosan-terobosan dalam memanfaatkan potensi wakaf yang ada. Untuk merealisasikannya, pasti dibutuhkan adanya dukungan regulasi yang kuat.

Saran penulis, mengapa tidak, kita jadikan RUU Ekonomi Syariah sebagai omnibus law-nya ekonomi syariah di prolegnas 2023? Semua gagasan yang memungkinkan bekerjanya gagasan baru ekonomi syariah dapat dituangkan dalam pembahasan RUU tersebut.

Memang sangat berat, namun semuanya tentu berpulang pada komitmen kita semua, khususnya pemerintah dan DPR. Adapun dari sisi pendekatan meso dan mikro, akan dibahas pada edisi berikutnya, insya Allah. Wallaahu a’lam.

Penulis : Irfan Syauqi Beik Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI
Artikel ini telah dimuat di Rubrik Iqtishodia Republika, 25 Mei 2022

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: