Sinergi Gerakan Wakaf Menuju Kemakmuran Bangsa

Sinergi Gerakan Wakaf Menuju Kemakmuran Bangsa

Oleh:  M. Fuad Nasar Pengembangan wakaf menjadi salah satu isu penting sebagai buffer (penyangga) ekonomi negara kita yang sedang menghadapi reses

Berkunjung ke RS Mata Achmad Wardi, Ketua BWI: Capaian Baik Harus Terus Ditingkatkan!
Filosofi Pemberdayaan Wakaf Secara Produktif
Kisah 5 Tahun Wakaf Salman Tebar Manfaat Wakaf

Oleh:  M. Fuad Nasar

Pengembangan wakaf menjadi salah satu isu penting sebagai buffer (penyangga) ekonomi negara kita yang sedang menghadapi resesi. Gerakan wakaf memperoleh momentum baru dengan terafirmasinya kebijakan pemberdayaan dana sosial keagamaan dan pengembangan kelembagaan ekonomi umat dalam program prioritas nasional pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024.  

Pemerintah melalui Kementerian Agama memiliki peran strategis sebagai regulator dan dinamisator pengelolaan wakaf sesuai perundang-undangan. Peran Kementerian Agama sebagaimana dimaksud dilakukan secara sinergis dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang menjalankan tugas teknis dan operasional untuk mengembangkan dan memajukan perwakafan nasional. Pemberdayaan wakaf sekaligus diharapkan mewarnai pertumbuhan ekonomi dan keuangan syariah.

Pertumbuhan  ekonomi dan keuangan syariah dengan dukungan instrumen wakaf haruslah ditempatkan dalam konteks memakmurkan bangsa. Menurut Prof. Dr. Yudhie Haryono dalam Asal-Muasal Kemakmuran: Teori dan Sejarahnya Dalam Kehidupan (2019) bahwa dalam bernegara, kemakmuran tidak bisa berlaku individual melainkan harus bersama atau menasional. Sebaliknya, miskin, dimiskinkan dan kemiskinan adalah musuh umat manusia sedunia.  

Sinergi dan interkoneksi kebijakan lintas-otoritas para pemangku kepentingan yang berjalan selama ini harus lebih memberi kontribusi positif terhadap ekosistem wakaf bahkan harus menjangkau pemerintah daerah dan institusi terkait di provinsi dan kabupaten/kota, penegak hukum, lembaga peradilan dan media. Pengalaman menunjukkan acapkali terdapat kondisi yang menghadapkan kita dengan persoalan wakaf, baik pemanfaatan maupun perlindungan hukum atas harta wakaf dimana penyelesaiannya berada di ranah kebijakan dan pelayanan birokrasi di daerah, bahkan institusi penegak hukum.      

Oleh karena itu, negara melalui perangkat birokrasinya diharapkan terus berperan dalam mendorong dan memfasilitasi pengembangan wakaf sebagai aset sosial umat Islam. Konstitusi memberi mandat kepada pemerintah untuk membuat regulasi, kebijakan dan program dengan dosis yang tepat terhadap pembangunan kehidupan beragama atau dalam hal ini penanganan wakaf sebagai aset publik.    

Beberapa tahun belakangan semakin disadari pentingnya memperkuat ekosistem dan sinergi pengembangan wakaf. Pengembangan tata kelola wakaf memerlukan ekosistem yang menggambarkan hubungan timbal-balik para pembuat kebijakan dan praktisi di lapangan. Sejalan dengan spirit penguatan ekosistem pemberdayaan wakaf, maka  regulasi, tata kelola, struktur kelembagaan, literasi dan sebagainya harus lebih terkonsolidasi dan berkolaborasi secara sinergis dengan lingkungan eksternal.  

Status harta wakaf, perlindungan hukum dan utilitas atau kemanfaatannya sebagai aset yang telah diwakafkan, baik tanah, bangunan, uang atau selain uang memerlukan pengelolaan yang baik, termasuk mensinergikan dengan instrumen keuangan sosial Islam lainnya, seperti zakat. 

Pemberdayaan wakaf tidak hanya sebatas tugas administrasi, seperti pendaftaran tanah wakaf, pengesahan dan penggantian nazir serta istibdal (tukar-ganti) harta benda wakaf dengan persyaratan yang ketat. Pemberdayaan wakaf pada prinsipnya memerlukan kemitraan strategis dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) dan pihak terkait di pusat maupun di daerah, baik pemerintah maupun nonpemerintah.

Pengembangan instrumen tata kelola dan produk wakaf terbaru, seperti Waqf Core Principles (WCP), Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) dan CWLS Ritel digitalisasi layanan wakaf uang dan lainnya yang sponsori oleh Bank Indonesia (BI) menjadi bukti nyata manfaat kemitraan strategis dalam ekosistem dan sinergi gerakan wakaf. Digitalisasi sistem ZISWAF bahkan menjadi program Quick Wins Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Selain itu, diperlukan Cetak Biru (blueprint) Pemberdayaan Wakaf sebagai rencana induk pengembangan wakaf dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Cetak Biru Pemberdayaan Wakaf dapat merujuk kepada Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia.  

Saya ingin mengutip pidato pengukuhan Prof. Dr. Raditya Sukmana, SE, MA, sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Islam Universitas Airlangga Surabaya tanggal 22 Juni 2019 yang menggambarkan wakaf bukan sekedar suatu “kelembagaan religius” yang hanya mengurusi hal-hal keagamaan ritual semata, namun jika dioptimalkan dapat menjadi suatu “kelembagaan sosio-ekonomi”. Wakaf sebagai instrumen filantropi yang berasal dari syariat Islam perlu dioptimalkan melalui pengelolaan secara produktif dengan berorientasi pada dampak positif bagi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup serta berpedoman pada aturan syariah dengan pemanfaatan teknologi digital IR 4.0, salah satunya blockchain. Pemangku kepentingan di bidang perwakafan, baik regulator, nazhir wakaf hingga masyarakat luas dan global perlu membangun upaya kolaboratif agar pengelolaan wakaf di era 4.0 ini dapat diwujudkan. Demikian pula gagasan untuk mendorong pengembangan  wakaf, seperti insentif pajak untuk wakaf uang, pendirian bank wakaf memerlukan dukungan dari otoritas terkait.  

Secara potensial kekuatan wakaf di negara kita sangat besar. Aset wakaf berupa tanah mencapai 435.768 kavling tanah dengan luas mencapai 4,2 juta hektar, dimana sekitar 66% di antaranya sudah bersertifikat wakaf, dan belum lagi dihitung harta wakaf lainnya yang terus dikembangkan. Dari sisi kelembagaan hingga 2019 tercatat 192 lembaga yang telah mendapat izin sebagai nazhir dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk mengelola wakaf uang dan terdapat 22 Lembaga Keuangan Syariah Pengelola Wakaf Uang (LKS-PWU) yang telah mendapat izin berdasarkan keputusan Menteri Agama. Selain nazhir berbentuk lembaga, 66% nazhir wakaf di Indonesia merupakan nazhir perseorangan, sedangkan 16% lainnya adalah nazhir organisasi dan 18% sisanya merupakan nazhir berbadan hukum. Dengan demikian, keberhasilan pengelolaan wakaf sebagian besar ditentukan oleh kinerja nazhir perseorangan.  Sementara, penghimpunan wakaf uang yang tercatat masih berada di angka Rp. 250 miliar. Jumlah ini terdiri dari kontribusi penghimpunan dari BWI pusat, BWI daerah serta penghimpunan dari institusi pengelola dana wakaf lainnya.

Dalam hal perlindungan aset wakaf yang bersifat tetap seperti tanah, dukungan dan sinergi lintas kementerian/lembaga cukup bagus. Kementerian Agama dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sepakat untuk mempercepat proses sertifikasi tanah wakaf atas dasar Keputusan Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional tahun 2004 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. Komitmen dua kementerian dimaksud adalah untuk memudahkan dan mempercepat sertifikasi tanah wakaf melalui kemudahan prosedur dan layanan pensertifikatan tanah wakaf sebagai bentuk perlindungan negara terhadap aset wakaf.

Menyangkut wakaf uang, sejak tahun 2018 telah ada Nota Kesepahaman Bersama Kementerian Keuangan, Kementerian Agama, Bank Indonesia dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) tentang Pengelolaan Harta Wakaf Melalui Pengembangan Waqf Linked Sukuk. Integrasi Sukuk dengan Wakaf merupakan terobosan penting dalam upaya mengaktualisasikan potensi ekonomi umat khususnya wakaf tunai.

Permasalahan yang kerap ditemukan dalam pengelolaan aset-aset wakaf sebagai harta yang telah diserahkan sebagai harta Tuhan untuk kemalashatan umum adalah keterbatasan kompetensi nazhir dan sulitnya investasi. Kebanyakan aset wakaf di negara kita terutama tanah yang di luar peruntukan untuk tempat ibadah, memerlukan pengelolaan secara profesional agar menghasilkan nilai manfaat untuk kemaslahatan umat. Pembinaan nazhir merupakan langkah strategis dalam mewujudkan peranan wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi syariah dan lokomotif kesejahteraan umat.

Dalam kaitan ini, simpul-simpul sinergi, harmonisasi dan interkoneksi kebijakan lintas-otoritas para pemangku kepentingan diharapkan memberi kontribusi positif terhadap pengembangan ekosistem wakaf. Ekosistem wakaf meliputi institusi pemerintah pusat, pemerintah daerah, institusi terkait di provinsi dan kabupaten/kota, institusi penegak hukum, lembaga peradilan dan media.

Di ranah hukum tidak jarang ditemukan kasus dimana putusan pengadilan atas sengketa tanah wakaf sudah inkracht, namun nazhir tidak mampu mengeksekusinya karena berbagai keterbatasan. Dalam beberapa kasus lain persoalan wakaf yaitu pemanfaatan atau perlindungan hukumnya menyangkut ranah institusi penegak hukum atau otoritas pembuat Rencana Umum Tata Ruang dan Wilayah. Contoh lain, bangunan pemerintah seperti sekolah/madrasah, Kantor Urusan Agama (KUA) dan sebagainya di atas tanah hak milik wakaf yang menimbulkan kesulitan ketika hendak dibangun atau direnovasi atau bahkan menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memerlukan penataan regulasi yang ramah wakaf. Skema sewa jangka panjang atas tanah wakaf untuk bangunan pemerintah dan proyek-proyek pemerintah perlu ditata dengan baik.        

Dalam kerangka pelaksanaan regulasi dan inovasi yang berkembang di lingkungan kelembagaan ekonomi umat khususnya wakaf terjadi lompatan pertumbuhan wakaf meski volumenya masih kecil. Oleh karena itu upaya yang berkelanjutan perlu terus dilakukan untuk meningkatkan dan memperluas partisipasi wakaf di tengah masyarakat.

Partisipasi berwakaf dan gerakan wakaf memerlukan penguatan literasi dan masifikasi kepada kalangan generasi muda, pelajar dan mahasiswa sebagai elite generasi terpelajar dan calon pemimpin masa depan perlu dioptimalkan. Pembaruan materi wakaf dalam kurikulum pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi serta berbagai kegiatan wakaf yang melibatkan generasi muda sangat diperlukan untuk membuka wawasan dan cakrawala generasi milenial tentang wakaf. Umat Islam memiliki wadah edukasi keagamaan yang tersebar secara merata yaitu masjid, pesantren, dan kampus. Bicara wakaf tidak sekadar bicara aset dan nilai uang, tetapi bicara pilar-pilar kesejahteraan umat dan bangsa yang harus diperkuat di tengah kondisi ketidakpastian yang sedang terjadi di dunia hari ini. Hemat saya, modalitas keyakinan agama, modalitas sosial dan peran dunia pendidikan sangat penting dalam upaya memperkokoh sinergi gerakan wakaf menuju kemakmuran bangsa.

Wallahu a’lam bisshawab.  

Penulis adalah Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI. Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf (Desember 2017 – September 2020).

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0