Jakarta (14/11/08) | Industri yang menggunakan sistem ekonomi Islam beberapa tahun belakangan ini, perkembangannya sangat pesat tidak terkecuali perangkat pendukungnya seperti, zakat, infaq, sadaqah, hingga harta wakaf. Ironisnya, perangkat pemberdayaan ekonomi Islam ini, belum sepenuhnya dikelola secara profesional seperti bisnis syariah lainnya, diantaranya Lembaga Keuangan Syariah. Padahal kata Direktur Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama, Sumuran Harahap, harta wakaf merupakan sumber investasi bisnis syariah, yang bila dikelola secara profesional sangat berpotensial dalam membangun ekonomi umat. Bahkan, sangat dimungkinkan harta benda wakaf bisa diarahkan bagi kemaslahatan bangsa Indonesia.
Betapa tidak kata Direktur Sumuran Harahap yang diwakili Kasubdit Pembinaan Wakaf, jumlah tanah wakaf yang terdata terdapat di 403.845 lokasi, dengan luas tanah 1.566.672.406 hektar. Sedangkan jumlah nilai dari aset-aset wakaf tersebut, berkisar Rp590 triliun. Dari jumlah tersebut 10 persen atau 40.000 lokasi, sangat potensial dikembangkan sebagai lahan bisnis.
"Bila harta wakaf ini dikelola secara syariah, dan propfesional. Tentunya berbagai musibah seperti kemiskinan, serta krisis ekonomi yang melanda bangsa ini tidak akan terjadi," ujarnya.
Dikatakan, potensi dana yang terkumpul dari wakaf bisa menjadi sumber dana non budgeter di luar APBN. Sehingga dengan jumlah yang cukup besar itu, secara bertahap dapat mengurangi ketergantungan pembiayaan domestik, pada hutang luar negeri. Namun karena harta ini tidak dikelola, dan belum menjadi sumber investasi bagi perbankan syariah, menyebabkan barang-barang wakaf menjadi terbengkalai. Bukan hanya itu, ketidakterurusnya harta wakaf, nyaris menjadi beban bagi masyarakat muslim.
Hal inilah yang harus diperhatikan, atau menjadi perhatian serius dari para pakar ekonomi Islam, bagaimana memberdayakan harta wakaf yang sudah ada ini, untuk menjadi sumber bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
Lebih jauh tentang kendala mengelola wakaf, untuk menjadi sumber hajat hidup umat Islam dijelaskan, ini lebih bersifat politis. Maksudnya, adanya UU N0.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU N0.41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dimana sesuai dengan kehendak politik yang tertuang dalam UU bahwa pemerintah secara operasional, tidak mengelola wakaf.
Dalam hal ini lanjutnya, pemerintah bertindak sebagai regulator, motivator dan fasilitator bagi pengelolaan wakaf. Dimana pengelola wakaf itu, dilakukan oleh badan yang dibentuk pemerintah atau lembaga yang didirikan oleh masyarakat, dan diberi kewibawaan formal melalui pengukuhan pemerintah.
Namun sejauh ini, pemerintah belum dapat mengalokasi anggaran sesuai jumlah yang dibutuhkan. Terutama untuk mengfasilitasi program pemberdayaan wakaf. Untuk itu Depag, membuat terobosan dengan mengupayakan dana melalui kegiatan dari berbagai pihak. Artinya, Depag mencari investor yang bisa membiayai program-program, yang mesti dilaksanakan oleh Depag sebagai fasilitator.
Selain kendala dana dan SDM dikatakan, masih banyaknya masyarakat yang mayoritas muslim ini belum seutuhnya memahami tentang ajaran keabadian wakaf. Dimana keabadian wakaf, selama ini dipahami lebih sebagai aspek keutuhan (wujud) bendanya, dengan mengesampingkan aspek kemanfaatannya. Ini yang harus dirubah, karena menjadi salah satu penghambat pengembangan harta wakaf. [terbit]