Napak Tilas Undang-Undang Wakaf (Bagian 1)

Oleh Dr. Uswatun Hasanah, Ketua Divisi Litbang Badan Wakaf Indonesia.

 

Sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, wakaf di Indonesia sudah diatur dalam beberapa peraturan. Demikian juga halnya paska Indonesia merdeka. Meskipun demikian peratu¬ran tersebut kurang memadai. Karena itu, dalam rangka pembaharuan Hukum Agraria, persoalan perwakafan tanah mendapat perhatian khusus sebagaimana terlihat dalam Undang-undang Pokok Agraria, yakni UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-undang No. 5 tahun 1960 disebutkan bahwa untuk melindungi keberlangsungan perwakafan tanah, pemerintah akan memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah tentang Perwakafan Tanah Milik.

 

Di Indonesia, campur tangan pemerintah dalam per¬wakafan mempunyai dasar hukum yang kuat. Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1) di bawah Bab Agama, dinyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Prof. Hazairin, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, norma dasar yang tersebut dalam Pasal 29 ayat (1) Penafsirannya antara lain bermakna bahwa negara wajib menegakkan syariat Islam bagi orang Islam; syariat Nasrani bagi orang Nasrani; dan syariat Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali, apabila dalam pelaksanaan syariat itu memerlukan perantaraan kekuasaan negara.

Hal ini disebabkan, syariat yang berasal dari agama yang dianut warga negara kebutuhan hidup para pemeluknya. Di samping itu, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan warganya untuk memeluk agamnya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Berdasar Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945 tersebut jelas bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah, yang termasuk ibadah maliyah, ibadah berupa penyerahan harta yang dimiliki seseorang menurut cara-cara yang ditentukan.

Wakaf adalah ibadah yang menyangkut hak dan kepentingan orang lain, tertib administrasi dan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Agar hak dan kewajiban serta kepentingan masyarakat itu dapat berjalan baik, meru¬pakan kewajiban pemerintah mengatur masalah wakaf dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Perhatian pemerintah terhadap perwakafan tampak lebih jelas lagi dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1989 ten¬tang Peradilan Agama. Dalam Pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan sedekah. Dengan PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No.7 Tahun 1989 tersebut diharapkan pelaksanaan perwakafan di Indonesia berjalan tertib dan teratur.

Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan tersebut pada 30 Nopember 1990 dikeluarkan Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf. Di samping itu agar terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam masalah perwakafan, dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (buku III) juga dimuat hal-hal yang berkenaan dengan hukum perwakafan.

Dengan demikian para hakim mempunyai pedoman dalarn melaksanakan tugasnya dan diharapkan dengan adanya Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak ada lagi perbedaan pendapat di antara para ulama. Meskipun sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan perwakafan, kenyataan menunjukkan bahwa tertib administrasi perwakafan di Indonesia meningkat. Sudah cukup banyak tanah wakaf yang bersertifikat.

Namun, dampaknya bagi kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat belum tampak. Hal ini, barangkali, karena wakaf yang diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 tersebut hanyalah tanah milik, sedangkan wakaf benda bergerak belum diatur.

Karena itu sudah saatnya wakaf benda bergerak, terma¬suk uang, saharn dan lain-lain, juga dikembangkan di Indonesia dan pengelolaannya diatur dengan undang-undang. Mudah-mudahan dalam waktu dekat pemerintah berhasil mengeluarkan Undang-undang Wakaf yang saat ini draf RUU-nya seidang dibahas.

Undang-undang Wakaf Sebuah Keharusan
Catatan: Agustus 2003

Walaupun persoalan wakaf di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 28 Tahun 1977 dan beberapa aturan lainnya, kenyataan menunjukkan bahwa Peraturan tersebut sampai saat ini berfungsi menertibkan wakaf di Indonesia. Ia belum mampu mendorong para nadzir wakaf untuk mengembangkan wakaf secara produktif.

Barangkali ini disebabkan aturan Pemerintah hanya mengatur persoalan wakaf tanah milik, sementara masih ada sebagian nazhir yang belum memahami tugas dan kewajibannya. Padahai untuk membangkan wakaf secara produktif banyak hal yang harus ditingkatkan. Diantaranya, dengan meningkatkan kemampuan nadzir dalam mengembangkan wakaf; serta menyosialisasikan wakaf benda tak bergerak seperti uang, saham, dan benda bergerak lain yang dapat dipergunakan mengembangkan wakaf.

Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak lembaga yang mengelola wakaf secara produktif. Seperti Perluasan Wakaf Pondok Gontor, Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, dan Wakaf Universitas Islam Indonesia. Selain itu, cukup banyak lembaga yang mengelola wakaf uang, seperti Dompet Dhuafa Republika dengan Layanan Kesehatan Cuma-cumanya dan Bank Muamalat Indonesia dengan Wakaf Tunai Muamalat. Mengingat sangat besarnya manfaat wakaf uang dan benda-benda bergerak lainnya demi mewujudkan kesejahteraan umat, penulis berpendapat bahwa pengembangan wakaf uang di Indonesia merupakan suatu keharusan.

Masalahnnnya sekarang adalah, pengelolaan wakaf dan benda-benda bergerak belum diatur dalam perundang-undangan. Alhamdulillah, bulan Juli 2004 Departemen Agama RI, sudah selesai menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Wakaf.

RUU Wakaf ini, menurut hemat penulis, sangat akomodatif terhadap perkembangan perwakafan di Indonesia. Karena dalam RUU ini cukup banyak diatur hal-hal baru seperti persoalan wakaf benda bergerak. Yakni, sudah diper-bolehkannya wakaf benda berge¬rak, meliputi uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa dan benda-benda lain yang dibolehkan menurut ajaran Islam.

Di berbagai negara, wakaf uang sudah lama dipraktekkan dan diatur dalam undang-undang. Seperti Undang-undang Negara Qatar Nomor 8/1996 tentang Wakaf yang mengatur wakaf benda bergerak. Aturnn tentang wakaf benda bergerak ini juga berlaku di Mesir, dengan adanya Undang-undang nomor 48 Tahun 1946 tentang Hukum Wakaf.

Di samping itu, RUU Wakaf juga mengamanatkan perlunya membentuk Badan Wakaf Indonesia, yakni Badan Wakaf yang bersifat nasional dan bersifat independen. Adapun tugas Badan Wakaf Indonesia ini, mengem¬bangkan wakaf untuk kesejahteraan umat, membina dan mengembangkan kemampuan nazhir dalam mengelola benda wakaf; melakukan advokasi dan mengurus benda yang terlantar, membantu nazhir dalam menyelesaikan sengketa atan perselisihan di bidang perwakafan, serta melakukan kerjasama nasional dan internasional untuk mengembangkan benda wakaf.

Sejumlah negara yang wakafnya sudah berkembang dengan baik, umumnya memiliki Badan Wakaf, atau lem¬baga semacam Badan Wakaf yang bersifat nasional. Tujuan pendirian Badan Wakaf ini agar wakaf dapat berkembang lebih baik dan meningkatkan kesejahteraan umat.

Diantara Badan Wakaf ini ada yang langsung berada di bawah Kementerian Wakaf seperti Mesir dan Saudi Arabia. Ada pula yang bersifat independen, seperti di Mesir, dimana Badan Wakaf langsung berada di bawah kementerian. Karena berada di bawah Kementerian, tugas Badan Wakaf Mesir cukup berat, yakni menangani wakaf secara keseluruhan baik di bidang administrasi, investasi, pengembangan dan pendayagunaannya.

Menyambut Kehadiran Undang-Undang Tentang Wakaf
Catatan: Desember 2004

Sejak penulis mulai mengajar mata kuliah “Zakat dan Wakaf” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yakni sekitar tahun 1984 cita-cita penulis adalah mengembangkan wakaf di Indonesia sebagaimana dikembangkan di negara-negara lain yang wakafnya sudah berkembang. Pengalaman mengajar itulah yang mendorong penulis untuk terus-menerus mengkaji tentang lembaga zakat dan wakaf, karena dua lembaga tersebut merupakan lembaga yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Di berbagai negara yang wakafnya sudah berkembang dengan baik, pada umumnya wakaf diatur dengan undang-undang. Harapan penulis pada waktu itu, di Indonesia pun wakaf diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, pada waktu penulis mendapat informasi bahwa Rancangan Undang-undang tentang Wakaf sudah diajukan ke DPR pada bulan Juli 2004 yang lalu, penulis merasa impian penulis hampir terealialisasi, walaupun terwujudnya undang-undang tentang wakaf tersebut masih tergantung pada komitment rakyat Indonesia sendiri melalui wakil-wakil rakyat di DPR.

Namun demikian, penulis tetap optimis pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf itu akan berjalan lancar, karena wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat, apalagi cukup banyak anggota dewan yang berasal dari partai Islam. Alhamdulillah seperti yang penulis prediksikan sebelumnya, pembahasan RUU tentang Wakaf di DPR tidak ada hambatan yang berarti, sehingga pada tanggal 28 September yang lalu Rancangan Undang-Undang Tentang Wakaf yang diajukan oleh Pemerintah itu disetujui oleh DPR.

Rancangan Undang-Undang Tentang Wakaf yang sudah disetujui DPR tersebut kcmudian disahkan oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Oktober 2004.
Sebagaimana pernah penulis sampaikan, undang-undang wakaf yang diperlukan di Indonesia adalah undang-undang yang mengatur pengelolaan wakaf secara produktif. Di Indonesia pengaturan wakaf mula-mula tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960).

Dalam Pasai 49 ayat (1) undang-undang tersebut antara lain disebutkan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan dialur dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah tentang perwakafan tanah milik yang disebutkan dalam Pasal 49 Undang-undang Pokok Agraria itu baru ditetapkan pada tanggal 17 Mei 1977, yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 38. Yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 itu hanyalah wakaf sosial (wakaf umum) di atas tanah milik seseorang atau badan hukum.

Tanah yang diwakafkan dalam Peraturan Pemerintah itu dibatasi hanya tanah milik saja, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai tidak diatur. Di samping itu benda-benda lain seperti uang, saham dan lain-lain juga belum diatur dalam Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu pengembangan wakaf di Indonesia cukup tersendat-sendat.

Dalam Undang-Undang tentang Wakaf tersebut, sudah diatur berbagai hal yang penting dalam pengembangan wakaf. Misalnya benda wakaf yang diatur dalam Undang-Undang itu tidak hanya dibatasi pada benda tidak bergerak tetapi juga benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraluran perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Undang-Undang tentang Wakaf, wakat uang juga diatur dalam bagian tersendiri. Dalam Pasal 28 UU itu disebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri. Kemudian dalam Pasal 29 ayat ( 1) disebutkan pula bahwa wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak yang dilakukan secara tertulis.

Dalam ayat (2) Pasal yang sama dinyatakan, wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Sedangkan dalam ayat (3) Pasal yang sama diatur bahwa sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syari’ah kepada wakif dan nadzir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.

Adapun ketentuan mengenai wakaf benda bergerak yang berupa uang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pengelolaan wakat uang ini memang tidak mudah, karena resikonya memang cukup tinggi. Oleh karena itu, pengelolaan dan pengembangan benda wakaf khususnya wakaf uang harus dilakukan oleh nazhir yang profesional.

Satu Tahun UU Wakaf
Catatan: November 2005

Kita patut bersyukur pada saat ini Indonesia sudah memiliki undang-undang yang menga-tur tentang perwakafan, yakni Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Undang-undang yang dibahas pada masa pemerintahan Megawati-Hamzah Haz dan ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, mengatur berbagai hal yang berkenaan dengan pengembangan dan pengelolaan wakaf produktif termasuk wakaf uang. Undang-undang tentang Wakaf itu disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Oktober 2004.

Sekarang Undang-undang tersebut sudah berusia satu tahun lebih. Pada saat ini sudah ada beberapa lembaga yang meresponnya dengan bjik, yakni dengan mengembangkan dan mengelola wakaf uang, seperti Baitulmaal Mu’amalat dengan Wakaf Tunai Mu’amalatnya. Bahkan belum lama ini Baitulmaal Mu’amalat bekerjasama dengan Bringin Life Syari’ah meluncurkan Tabungan Wakaf Duniawi Ukhrawi yang disingkat Tawadlu.

Meskipun demikian masih cukup banyak masyarakat yang belum paham substansi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Ketidakpahaman masyarakat ini penulis ketahui pada saat Muktamar I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia yang dilaksanakan pada bulan Septem¬ber 2005 lalu di Medan. Ketika prof. Dr. M. A. Mannan menjelaskan pentingnya pengembangan wakaf uang, banyak pertanyaan dari peserta yang mengindikasikan mereka belum tahu bahwa di Indonesia wakaf uang su¬dah diatur dalam Undang-undang.

Ini menunjukkan bahwa sosialisasi belum dilakukan secara maksimal. Menurut penulis, walaupun Undang-un¬dang ini belum ada Peraturan Pemerintahnya, masyarakat khususnya ummat Islam harus memahami dengan baik substansi yang diaturnya. Sebagaimana pernah penulis sampaikan bahwa dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, diatur berbagai hal baru yang berkenaan wakaf produktif.

Misalnya, tentang pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang mesti dilakukan secara produktif. Dalam penjelasan Pasal 43 ayat (2) disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembang¬an harta benda wakaf dilakukan secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarara pendidikan, ataupun sarana kese-hatan dan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan syari’ah.

Melihat benda-benda wakaf yang diatur dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 dan pengelolaannya harus dilakukan secara produktif, jelas menjadi tantangan bagi ummat Islam. Oleh karena itu, sudah seharusnya sambil menunggu disahkannya Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan . Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, sosialisasi Undang-un¬dang Tentang Wakaf ini harus dilakukan terus menerus.

Sosialisasi Undang-undang itu akan lebih berhasil, apabila dalam pelaksanaannya Departemen Agama bekerjasa¬ma dengan organisasi Islam dan perguruan tinggi yang mempunyai komitmen untuk mengembangkan wakaf produktif seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, Masyarakat Ekonomi Syari’ah, Universitas Islam Sultan Agung, Universitas Indone¬sia, Universitas Islam Indonesia, dan lain-lain.

Menyongsong PP WAkaf
Catatan: Pebruari 2006

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, cukup banyak lembaga yang berminat untuk mengelola wakaf uang yang ada dalam masyarakat. Repotnya untuk merealisasikan pengembangan wakaf uang yang sudah diatur dalam undang-undang tersebut belum dapat berjalan sebagaimana mestinya, karena belum ada peraturan yang lebih teknis, yakni berupa peraturan pemerintah. Pada hal cukup banyak pasal yang berkenaan dengan wakaf uang yang memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Belum adanya Peraturan Pemerintah tersebut, ternyata menyebabkan nadzir-nadzir wakaf uang yang sudah terbentuk dalam melaksanakan tugasnya membuat peraturan sendiri. Hal ini bisa dimaklumi, karena nadzir tersebut sudah menerima uang dari wakif, untuk kernudian dikembangkan dan didistribusikan hasilnya kepada mauquf ‘alaih.

Misalnya, di Baitulmaal Mu’amalat, aturan pelaksanaan wakaf uang sangat sederhana dan memudahkan wakif untuk berwakaf. Apabila orang mau berwakaf, yang bersangkutan cukup datang ke kantor Baitumaal Mu’amalat dengan membawa uang yang akan ia wakafkan dan tanda pengenal (KTP/SIM/Pasport). Sesampai di kantor Baitumaal Mu’amalat, calon wakif mengisi blanko Sertifikat Wakaf Tunai Baitulmaal Mu’amalat, yang isinya antara lain adalah nama wakif, tempat/tanggal lahir wakif; diarrwt wakif; No. KTP/SIM/Pasport; Nama ahli Waris; nominal wakaf.

Adapun pilihan penerima wakaf terdiri dari empat bidang, yakni bidang sosial, bidang pendidikan, bidang kesehatan dm bidang ekonomi. Tatacara perwakafan uang yang diterapkan oleh Baitulmaal Mu’amalat ini memang praktis dan memudahkan bagi calon wakif. Yang masih menjadi pertanyaan, “Bagaimanakah tatacara pelaksanaan wakaf uang yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”.

Semoga tatacara pelaksanaan semua benda wakaf diatur dengan sederhana dan memudahkan wakif dan nadzir dalam mengelola wakaf. Peraturan yang demikianlah yang diharapkan dan ditunggu oleh ummat Islam, khususnya para pengelola wakaf uang. Sebenarnya masih cukup banyak hal yang diamanatkan dalam undang-undang untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Di antaranya adalah ketentuan mengenai pendaftaran nadzir, baik nadzir perorangan, organisasi maupun badan hukum; ketentuan mengenai ikrar wakaf untuk benda tidak bergerak, benda bergerak berupa uang dan benda bergerak selain uang; dan pembuatan akta ikrar wakaf untuk masing-masing benda yang diwakafkan. Akta ikrar wakaf untuk benda tidak bergerak, benda bergerak berupa uang dan benda bergerak selain uang tentu masing-masing berbeda.

Misalnya, mengenai ketentuan ikrar wakaf uang tentu berbeda dengan ketentuan ikrar wakaf tanah. Berkenaan dengan wakaf uang, dalam undang-undang sudah disebutkan dengan jelas bahwa “wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syari’ah yang ditunjuk oleh menteri.” Namun yang menjadi pertanyaan berikutnya, “dalam hal wakaf uang, siapakah yang berhak menjadi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ?” Sebelum ada Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, karena yang diatur hanyalah tanah milik, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 adalah Kepala KUA Kecamatan.

Untuk saat ini berdasarkan karakteristiknya, tentu Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk wakaf uang mestinya bukan Kepala KUA Kecamatan, apalagi dalam undang-undang juga sjdah disebutkan bahwa Sertifikat Wakaf Uang diterbitkan dan disampaikan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah kepada wakif dan nadzir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Di samping hal-hal yang sudah dikernukakan, tatacara pendaftaran benda tidak bergerak, benda bergerak berupa uang, dan benda bergerak selain uang, masing-masing juga harus diatur secara rinci.

Jika diperhatikan dengan seksama, nampaknya masih banyak pasal yang perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Kita semua menunggu hadirnya Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang saat ini masih dalam proses harmonisasi di Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia. []

(Besambung…)
Sumber: Shariah Business

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *