Wakaf Hijau dan Pembangunan Berkelanjutan

Wakaf Hijau dan Pembangunan Berkelanjutan

Pada hari Rabu 21 September 2022 kemarin telah dilakukan diseminasi hasil kajian berupa laporan Green Waqf Framework, hasil kerjasama UNDP dan BWI, yang didukung oleh sejumlah institusi lainnya, yaitu IPB University, organisasi Green Waqf, dan WaCIDS (Waqf Center for Indonesia Development and Studies).

Manajemen Wakaf di Era Ottoman
Wakaf Uang Tunai Dalam Persfektif Hukum Islam
Perlunya Sertifikasi Nazhir

Oleh: Irfan Syauqi Beik*

Pada hari Rabu 21 September 2022 kemarin telah dilakukan diseminasi hasil kajian berupa laporan Green Waqf Framework, hasil kerjasama UNDP dan BWI, yang didukung oleh sejumlah institusi lainnya, yaitu IPB University, organisasi Green Waqf, dan WaCIDS (Waqf Center for Indonesia Development and Studies). Studi yang dikoordinasikan penulis ini, merupakan salah satu upaya mendorong adanya terobosan dalam memanfaatkan aset wakaf yang ada, guna mendukung tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan, sekaligus ikut mengatasi tantangan perubahan iklim dan krisis energi yang membayangi kehidupan masyarakat, baik di tingkat nasional maupun global. Dengan kata lain, bagaimana menciptakan program wakaf yang memberikan manfaat sosial ekonomi yang besar, sekaligus berdampak signifikan secara ekologis demi keberlanjutan kehidupan umat manusia yang berkualitas.

Dalam konteks ini, maka gagasan wakaf hijau (green waqf) menjadi sesuatu yang sangat penting dan fundamental. Apalagi munculnya gagasan wakaf hijau ini didasarkan pada fakta bahwa untuk mendukung terlaksananya peta jalan SDGs hingga tahun 2030, dibutuhkan dana tidak kurang dari Rp 67 ribu triliun (Bappenas, 2022). Sehingga, diperlukan adanya upaya mengoptimalkan potensi-potensi sumber pembiayaan alternatif yang inovatif, yang antara lain berasal dari instrumen ekonomi syariah seperti wakaf aset dan wakaf uang. Selain itu, perlu digali potensi-potensi sumberdaya alternatif yang dapat mengatasi persoalan energi di masa depan, sekaligus pada saat yang sama, mampu mengatasi kerusakan lingkungan yang semakin parah. Indonesia sesungguhnya memiliki beragam sumberdaya yang sangat potensial, yang kalau dikelola dengan baik, akan memberikan dampak perubahan dalam perekonomian nasional, dimana kemandirian energi dapat diraih, dan ketergantungan pada pasokan asing bisa dikurangi.

Untuk mendukung hal tersebut, maka diperlukan adanya kolaborasi antar seluruh pemangku kepentingan yang ada. Tidak mungkin satu pihak mampu menyelesaikan semua persoalan sendirian. Karena itu, dalam gagasan Green Waqf Framework, diusulkan adanya empat tahapan yang dapat mendukung pelaksanaan inisiatif wakaf hijau. Tahap pertama adalah tahap prakondisi, dimana pada fase ini, upaya penyadaran akan pentingnya mendayagunakan wakaf bagi kepentingan pembangunan berkelanjutan, perlu untuk terus dikembangkan. Proses ini diharapkan akan meningkatkan pemahaman dan literasi masyarakat, baik terhadap konsep wakafnya, terhadap kondisi iklim dan energi, maupun terhadap upaya pemanfaatan wakaf untuk mengatasi masalah lingkungan, iklim dan energi. Ini bukan hal yang mudah karena masih kuatnya pemahaman publik akan konsep wakaf yang terbatas pemanfaatannya pada 3M, yaitu masjid, makam dan madrasah.

Tahap kedua adalah tahap konsolidasi. Pada tahap ini, diperlukan adanya konsolidasi kebijakan yang mengarah pada kebijakan hijau (green policy), yang diharapkan menjadi dasar implementasi wakaf hijau. Selain itu, konsolidasi sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan eksekusi wakaf hijau menjadi sangat penting. Terkait hal ini maka BWI menyadari bahwa kualitas dan kompetensi SDM nazhir masih perlu ditingkatkan dan diperkuat. Karena itu, sejak akhir 2021 lalu, BWI telah mendirikan LSP BWI, yang telah mendapat lisensi BNSP, sebagai ikhtiar untuk meningkatkan kualitas SDM yang ada. Alhamdulillah telah lebih dari seribu nazhir yang tersertifikasi oleh LSP BWI.

Konsolidasi berikutnya adalah pada aspek teknologi, dimana keberadaan teknologi harus dapat dimanfaatkan, baik dalam hal kampanye edukasi, hingga pada aspek pengumpulan dan pengelolaan dana wakaf. Kemudian dilanjutkan dari sisi konsolidasi pembiayaan berbasis wakaf. Saluran dan metode yang digunakan menjadi sangat penting untuk dianalisis, apakah melalui mekanisme pembiayaan langsung yang bersumber dari wakaf uang, atau melalui kombinasi wakaf uang dengan instrumen keuangan syariah lain seperti sukuk dalam bentuk sukuk wakaf, atau melalui kombinasi antara wakaf uang dengan sumber-sumber dana sosial keagamaan lainnya.

Jika melihat apa yang dilakukan oleh KAPF (Kuwait Awqaf Public Foundation), yang merupakan lembaga wakaf pemerintah Kuwait yang dipimpin bersama-sama antara Menteri Wakaf dan Menteri Kehakiman, pilihan yang mereka ambil adalah melalui pembentukan Environmental Fund yang merupakan bentuk penyaluran wakaf uang secara langsung. Kemudian yang terakhir pada tahap kedua ini adalah pemetaan stakeholder. Pemetaan ini sangat penting agar dapat terbangun sinergi yang positif diantara para pemangku kepentingan yang ada.

Selanjutnya tahap ketiga adalah tahap pengembangan proyek wakaf hijau. Tahap ini sangat penting sebagai bentuk kongkrit dari gagasan wakaf hijau yang terealisasikan dalam program yang nyata. Tahap ini perlu diawali dengan adanya pilot project (proyek percontohan) yang tepat dan efektif. Dalam laporan Green Waqf Framework, diusulkan proyek percontohan melalui penanaman Tamannu.

Pohon tamannu ini mampu menghasilkan biji yang memiliki kandungan minyak 70-75 persen, yang dapat diolah menjadi beragam produk, mulai dari biofuel yang dapat menjadi bahan bakar alternatif BBM saat ini, hingga produk kesehatan dan kecantikan yang memiliki valuasi yang tinggi. Selain itu, tamannu juga dapat ditanam di atas lahan yang kering dan rusak, sehingga sangat cocok untuk proses reforestasi. Sebagaimana studi yang dilakukan Leksono et.al (2008, 2014 dan 2016) maupun Iqbal (2022) manfaat ekonomis dari tamannu ini sangat besar. Apalagi tanaman ini juga merupakan tanaman asli Indonesia, namun belum termanfaatkan dengan baik. Secara ekologis, upaya reduksi karbon juga dapat diraih.

Pada tahap ini juga perlu dikembangkan instrumen monitoring dan evaluasi, serta alat ukur dampak yang ditimbulkan dari proyek percontohan yang dilakukan. Melalui proyek percontohan ini juga perlu dibangun ekosistim yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

Yang terakhir, adalah tahap pengarusutamaan wakaf. Ini adalah tahap puncak dimana kita mendorong replikasi proyek percontohan wakaf hijau secara masif di berbagai wilayah, memperkuat kebijakan wakaf hijau secara eksponensial, serta mendorong kolaborasi domestik dan partisipasi publik yang lebih kuat. Pada fase ini diharapkan wakaf hijau dapat menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan nasional.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Komisioner BWI.

Artikel ini telah dimuat di Republika, 22 September 2022

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0