Oleh Azhari Akmal Tarigan, Pengurus BWI Perwakilan Sumatera Utara Bidang Penelitian dan Pengembangan.

Ketika Nabi Muhammad SAW sampai di Yastrib, lebih kurang 1433 tahun yang lalu, ternyata Nabi tidak berdiam diri. Di saat usianya yang beranjak tua, 53 tahun, Nabi membuat perencanaan strategis. Di saat semua penduduk Madinah menawarkan rumahnya untuk didiami Nabi, Ia memilih sendiri tempat di mana ia harus tinggal.

Ketika kaum anshar menyiapkan segala keperluan material nabi, sandang, papan dan pangan, Nabi yang mulai itu memilih untuk mencari pasar (suq). Nabi sesungguhnya ingin menegaskan bahwa, hijrah bukan berdiam diri. Hijrah tidak sekedar menangis dan bermuhasabah. Hijrah adalah bekerja. Dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan jihad.

Jika dirumuskan, ketika Nabi hijrah, yang dilakukannya adalah; Pertama, membangun visi. Caranya dengan merubah Yastrib (semula nama kampung asal pendiri kota Yasrib di pinggiran sungai Nil) menjadi Madinah (peradaban). Kedua, Rasul membangun masjid yang selanjutnya dikenal dengan Masjid Nabawi.

Saat ini masjid tersebut sangat megah dan didalamnya terletak makam Nabi sendiri bersama khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar Ibn Al-Khattab. Ketiga, membangun persaudaraan yang abadi antara anshar dan muhajirin. Keempat, Membangun ekonomi dengan menggerakkan entrepreneurship orang Makkah dengan cara terjun ke pasar.

Kelima, membangun konsensus dengan orang Yahudi, Nasrani dan kelompok lainnya dalam sebuah piagam yang disebut mistaq al-Madinah. Intinya, kerja-kerja yang dilakukan Nabi adalah sesuatu yang konkrit dan strategis.

Jika saat ini kita sudah berada di tahun baru Islam 1433 H, apa yang sudah kita rencanakan ? Program apa yang telah kita susun setidaknya satu tahun ke depan. Strategi apa yang kita persiapkan untuk membangun Islam dan ummatnya ? Saya khawatir jangan-jangan umat ini telah kehilangan visi ? Bahkan mungkin juga kita tidak memiliki kemampuan untuk merumuskan visi besar tersebut ?.

Saya menawarkan pemikiran untuk menjadikan tahun 1433 H sebagai tahun wakaf uang ?. Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar pijakan mengapa gagasan ini penting. Pertama, problem klasik yang masih membelit umat Islam; kebodohan dan kemiskinan.

Kedua, posisi pengusaha kecil dan menengah yang sangat lemah dan sulit untuk mendapatkan akses permodalan dari perbankan. Ketiga, Potensi wakaf uang yang sebenarnya sangat besar jika dikelola dengan baik, transparan, akuntabel dan produktif.

Penting dicatat, mengapa wakaf uang ini menjadi sangat perlu untuk digerakkan. Alasan yang paling utama adalah, wakaf benda tidak bergerak, bagaimanapun juga sangat terbatas tidak saja materinya tetapi juga orang-orang yang memilikinya.

Tegasnya, wakaf harta seperti tanah misalnya, hanya dapat dilakukan oleh segelintir orang yang memiliki tanah yang sangat luas dan lebih penting dari itu, ia juga harus mempunyai kesadaran berwakaf. Tidaklah mengherankan jenis wakaf seperti ini menjadi amalan yang sangat elitis atau amalan khusus orang-orang yang kaya saja.

Memang jika ditinjau dari segi hukum ada perbedaan dikalangan ulama tentang wakaf uang. Namun yang jelas, wakaf dalam bentuk uang tunai diperbolehkan sesuai dengan fatwa Imam az-Zuhri, dan dalam prakteknya juga sudah dilaksanakan oleh ummat Islam.

Jika kita perhatikan sumber-sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah tidak dijumpai larangan wakaf uang tunai. Di dalam fiqh Mu’amalah (Wakaf ditempatkan di dalam rubu’ Mu’amalah) tidak adanya nash yang melarangan itu artinya dibolehkan.

Sebenarnya sebab perbedaan (sabab al-khilaf) adalah perbedaan pendapat tentang ‘tafsir” ucapan Rasulullah Saw kepada Umar ibn al-Khaththab yang mengatakan, “Kalau kamu berkenan, tahan pokoknya dan sedekahkan hasilnya. Dari “tahan pokoknya” itulah difahami harta wakaf harus materialnya tetap.

Menurut Prof. Dr. M. Yasir Nasution yang saat ini menjabat sebagai ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) perwakilan Sumatera Utara, Fatwa Imam az-Zuhri agaknya lebih mudah difahami apabila “pokok” di sini tidak berarti material, tetapi bermakna substansi, karena uang juga mempunyai substansi yang relatif tetap.

Seharusnya, kita tidak lagi berdebat berkenaan dengan dasar hukum wakaf uang. Kaedah yang berlaku dalam bidang mu’amalah sebenarnya sudah cukup menjadi dasar hukum yang selanjutnya ditopang dengan dalil-dalil umum di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.

Al-Aslu fi al-Mu’amalat al-ibahah (asal segala sesuatu di dalam Mu’amalat adalah boleh (mubah) sampai ada dalil yang melarangnya. Bukankah inti anjuran sadaqah dan infaq di dalam banyak ayat Al-Qur’an, mengandung pesan pemberdayaan umat. Pemberdayaan umat adalah satu kebaikan bahkan juga kebaikan (al-khair dan al-birr).

Di lihat dari perspektif perubahan sosial versi Islam, di dalam wakaf ada amar ma’ruf nahi munkar. Makna amar ma’ruf adalah humanisasi; menjadikan manusia menemukan potensi dirinya untuk dapat berkembang secara mandiri. Sedangkan nahi munkar maknanya adalah liberasi, pembebasan dari segala hal yang membelenggunya di dalam siklus kefakiran yang kerap menjurus kepada kemunkaran.

Gagasan wakaf uang bukanlah sesuatu yang turun begitu saja dari langit. Ada bukti empiris yang layak dijadikan contoh. Bangladesh adalah negara yang diklaim terbelakang, namun berhasil menerapkan wakaf uang lewat sertifikat wakaf tunai. Gagasan ini lebih lanjut dapat di baca pada artikel M.A.Mannan yang berjudul, Cash-Waqf Certificate Global Apportunities for Developing The Social Capital Market in 21-Century Voluntary Sector Banking” (Sertifikat Waqf Tunai; Sebuah Intrument Keuangan Islam” (CIBER dan PKTTI-UI; 2001).

Setidaknya menurut M. A Mannan ada beberapa manfaat yang dapat diraih melalui sertifikat wakaf tunai ini. Pertama, Wakaf Tunai dapat merubah kebiasaan lama di mana kesempatan berwakaf hanya untuk orang-orang kaya saja. Meminjam bahasa Dawam Rahardjo, kesempatan untuk mendapatkan “kapling tanah” di surga bukan hanya milik Konglemerat saja tetapi dapat dimiliki setiap umat Islam melalui wakaf uang.

Kedua, Wakaf tunai dapat berperan sebagai supplemen bagi pendanaan berbagai macam proyek investasi sosial yang dikelola oleh bank-bank Islam sehingga pada gilirannya dapat berubah menjadi Bank Wakf.

Di samping keuntungan yang disebut M.A. Mannan di atas, manfaat lain dari wakaf uang adalah adanya keleluasaan dalam penggunaan wakaf uang dan tentu saja dapat disesuaikan dengan kebutuhan real ummat. Tentu saja syarat yang tak boleh dilanggar adalah sifat keabadian status tetap menjadi karakteristik wakaf yang tidak dapat diubah.

Dikalangan umat Islam Sumut saat ini, seringkali yang menjadi soal adalah rendahnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga keagamaan umat. Jujur kita akui, sulit menemukan lembaga-lembaga umat yang sukses mengelola dirinya. Akibatnya kita sulit mendapatkan kepercayaan umat. Untuk itu, kerangka berpikir negatif ini harus kita ubah.

Perubahan dapat dilakukan pada dua sisi. Pertama, dari sisi lembaga itu sendiri. Lembaga-lembaga agama apapun bentuknya, harus bertekad merubah citra dirinya. Mereka harus mengelola dirinya menjadi lembaga yang benar-benar professional, akuntabel dan transparan. Satu hal yang perlu diperhatikan, lembaga ini tidak boleh dikelola paruh waktu dan setengah hati.

Jika tidak mampu, harus ada kerelaan pengurusnya untuk mundur dan menyerahkannya kepada orang yang mampu. Kedua, umat juga harus merubah cara pandang dan pikirnya. Kerap kali, umat tetap berpegang teguh pada stigma umum, bahwa lembaga umat sulit dipercaya. Mereka tidak lagi mengkaji apakah stigma itu benar atau tidak. Mereka tidak memeriksa stigma dan tidak pula membuka mata untuk melihat lebih jernih – bisa jadi lembaga tersebut telah berubah.

Menurut saya, umat tidak boleh berpikir negatif terhadap lembaga umat, sampai benar-benar terbukti lembaga tersebut memang tidak baik. Jika cara berpikir negatif ini kita pertahankan, maka umat Islam akan sulit maju. Kita akan terjebak pada belenggu berpikir negatif dan buruk sangka. Sekali lagi kita harus keluar dari pola pikir lama dan mengembangkan cara berpikir baru.

‘Ala kulli hal, kembali ke isu awal artikel ini. Kita telah berada di tahun baru Islam 1433 H. Pertanyaannya apa yang kita rencanakan dan programkan untuk pemberdayaan umat Islam ini. Hemat saya salah satunya adalah pemberdayaan wakaf uang dikalangan umat Islam.

Kita harus mulai menggerakkan wakaf uang yang potensinya sangat besar ini. Mulai dari pribadi, rumah-rumah keluarga muslim, majlis ta’lim, organisasi, perusahaan –perusahaan, lembaga pemerintah dan lembaga potensial lainnya.

Satu hal yang patut disyukuri, saat ini Sumatera Utara telah lahir sebuah lembaga resmi negara yang disebut dengan Badan Wakaf Indonesia perwakilan Sumatera Utara. Lembaga ini bertujuan untuk mengelola wakaf dan mengembangkan harta benda wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk kepentingan ibadah dan meningkatkan kesejahteraan umat.

Lembaga ini bertekad untuk menjadi lembaga yang benar-benar amanah dan bertanggungjawab dalam mengelola harta wakaf umat. Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan, ketabahan, dan kesabaran agar lembaga ini benar-benar dapat bekerja secara maksimal. (waspada medan)

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *