Potensi Wakaf Uang untuk Pembangunan Perumahan rakyat

Oleh Prof. Dr. Uswatun Hasanah, Ketua Divisi Litbang BWI.  Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, oleh karena itu setiap manusia sama der

Wakaf Perspektif Hukum Agraria
Gelar Sertifikasi Nazhir, Ketua BWI Harap Nazhir Miliki Kemampuan Expert Dalam Mengelola Wakaf
Buku Saku Sertifikasi Tanah Wakaf

Oleh Prof. Dr. Uswatun Hasanah, Ketua Divisi Litbang BWI.

 

Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, oleh karena itu setiap manusia sama derajatnya di hadapan Allah. Untuk merealisasikan  kekeluargaan dan kebersamaan tersebut, harus ada kerja sama dan tolong menolong. Konsep persaudaraan tersebut tidaklah mempunyai arti kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangannya terhadap masyarakat. Dengan komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan sosial dan ekonomi, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan adalah bertentangan dengan Islam. Akan tetapi konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta keonsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang konstribusinya kepada masyarakat.

Islam toleran terhadap ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki …” (al – Nahl, ayat 71). Adanya perbedaan dalam kemampuan serta perbedaan dalam kesempatan dapat diduga sebagai sebab musabab dari perbedaan dalam rezeki yang mungkin diterima oleh seseorang. Akibat lebih lanjut adalah lahirnya golongan kaya dan golongan miskin dalam masyarakat. 

 

Ada beberapa ayat dalam al – Qur’an yang memberi petunjuk dan pedoman bagi seseorang untuk membelanjakan hartanya, baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kepentingan orang lain dalam masyarakat. Petunjuk itu antara lain terdapat dalam surat al – Isra’ ayat 26 : “Dan berikanlah bagi keluarga-keluarga dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros” (al-Isra’, ayat 26). Dalam ajaran Islam ada beberapa lembaga yang dapat digunakan untuk menyalurkan sebagian harta seseorang kepada mereka yang memerlukan. Salah satu di antara lembaga-lembaga tersebut adalah wakaf. Wakaf adalah salah satu lembaga ekonomi Islam yang sangat erat kaitannya dengan masalah sosial dan ekonomi masyarakat. Di berbagai negara yang sudah mengembangkan wakaf secara produktif, lembaga tersebut dapat membantu pemerintah dalam menanggulangi berbagai masalah yang dihadapi, termasuk masalah kemiskinan. Salah satu masalah yang dihadapi fakir miskin adalah ketiadaan tempat tinggal yang layak. Dalam kesempatan penulis mencoba untuk membahas “potensi wakaf uang untuk pembangunan perumahan ini rakyat”.

Wakaf Produktif untuk  Kesejahteraan Umat
       
Di beberapa negara Islam, wakaf merupakan salah satu pilar ekonomi yang mampu memperdayakan ekonomi rakyat. Yang menjadi pertanyaan adalah, di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, wakaf belum dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Padahal sampai saat ini kemiskinan masih menjadi salah satu masalah yang harus dihadapi. Kemiskinan adalah suatu kondisi yang sangat menakutkan sehingga semua orang akan selalu berusaha memerangi kemiskinan. Indonesia adalah salah satu negara yang jumlah penduduk miskinnya masih memprihatinkan. Walaupun Pemerintah sudah berusaha untuk menanggulangi kemiskinan, namun sampai saat ini ternyata belum juga terselesaikan. Apalagi beberapa tahun terakhir, di Indonesia terjadi berbagai bencana, mulai dari tsumani di Aceh, gempabumi di Yogyakarta dan di beberapa daerah, tanah longsor, lumpur Lapindo, Jebolnya Situ Gintung, dan berbagai bencana yang lain. Bencana alam tersebut menyebabkan banyak orang kehilangan hartabenda, termasuk tempat tinggalnya. Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa di negeri yang subur ini masih ada masalah yang harus ditanggulangi. Berdasarkan data yang ada pada Badan Pusat Statistik, pada bulan Maret 2008, penduduk miskin di Indonesia berjumlah 34,96 juta.  Jumlah ini merupakan jumlah yang membahayakan bagi negara apabila  tidak segera diatasi. Oleh karena itu, kemiskinan harus segera diperangi bersama-sama, antara pemerintah dan masyarakat, agar hidup warganegara Indonesia sejahtera.

 

Untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan. Akan tetapi sampai saat ini jumlah masyarakat miskin ternyata masih mengkhawatirkan, dan kesejahteraan masih jauh dari jangkauan sebagian dari masyarakat. Padahal setiap manusia di dunia ini mempunyai hak atas kesejahteraan, oleh karena itu dalam tataran idealis, setiap manusia seharusnya memperoleh hak atas kesejahteraan.  Dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa salah satu hak yang harus dimiliki manusia adalah hak atas kesejahteraan. Salah satu hak dari hak-hak atas kesejahteraan adalah hak untuk bertempat tinggal. Dalam Pasal 40 Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. Hal ini berarti bahwa sudah seharusnya setiap warga negara Indonesia mempunyai tempat tinggal yang layak, karena dari tempat tinggal yang layak itulah nantinya seseorang akan mampu mengembangkan potensinya dengan baik. Namun dalam kenyataannya, masih cukup banyak saudara-saudara kita yang masih hidup dalam kemiskinan, dan tidak mampu memiliki rumah yang layak huni. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bersama antara pemerintah dan masyarakat yang mampu untuk membantu keluarga yang tidak mampu untuk menyiapkan tempat tinggal yang memadai. Yang menjadi pertanyaan berikutnya, bagaimanakah cara mewujudkan perumahan bagi mereka. Penulis yakin, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat sudah mempunyai berbagai program pembangunan perumahan bagi mereka yang tidak mampu. Akan tetapi karena jumlah keluarga miskin yang masih banyak, sehingga sampai saat ini masih banyak keluarga yang tidak mempunyai rumah atau tempat tinggal yang layak. Untuk mengatasi masalah tersebut, sudah selayaknya masyarakat juga menggali lembaga-lembaga yang potensial untuk dikembangkan, yang dapat dipergunakan untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan program pembangunan rumah bagi mereka yang tidak mampu. Salah satu lembaga yang dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak adalah wakaf.   

 

Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah berperan sangat penting dalam pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat Islam dan telah menfasilitasi sarjana dan mahasiswa dengan sarana dan prasarana yang memadai yang memungkinkan mereka melakukan berbagai kegiatan seperti riset dan menyelesaikan studi mereka. Cukup banyak program-program yang didanai dari hasil wakaf seperti penulisan buku, penerjemahan dan kegiatan-kegiatan ilmiah dalam berbagai bidang termasuk bidang kesehatan. Wakaf tidak hanya mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan mahasiswa maupun masyarakat. Sebagai contoh misalnya di bidang kesehatan, lembaga wakaf juga menyediakan fasilitas-fasilitas untuk meningkatan kesehatan masyarakat dan fasilitas pendidikan  dengan pembangunan rumah sakit, sekolah medis, dan pembangunan industri obat-obatan serta kimia, di bidang social misalnya menyediakan perumahan bagi mereka yang tidak mampu, fasilitas umum, dan lain-lain. Dilihat dari segi bentuknya wakaf juga tidak terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak. Di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang, saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat, termasuk menyediakan perumahan bagi rakyat yang tidak mampu.

 

Untuk mengembangkan wakaf produktif di Indonesia pada saat ini sudah tidak ada masalah lagi, karena dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf sudah diatur mengenai berbagai hal yang memungkinkan wakaf dikelola secara produktif. Jika dibandingkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan tentang wakaf yang sudah ada selama ini,  dalam Undang-Undang tentang Wakaf ini terdapat  beberapa hal baru dan penting. Beberapa di antaranya adalah mengenai masalah  nazhir (pengelola wakaf), harta benda yang diwakafkan (mauquf bih), dan peruntukan harta wakaf (mauquf ‘alaih), serta perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia.

 

Di berbagai negara, harta yang dapat diwakafkan tidak terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak, termasuk uang. Sebelum Rancangan Undang-Undang Tentang Wakaf dirumuskan, pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah sebagai berikut.
1. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
   
Berdasarkan fatwa tersebut maka TIM Rancangan Undang-Undang tentang Wakaf merumuskan aturan yang berkenaan dengan wakaf benda bergerak termasuk uang. Wakaf uang penting sekali dikembangkan di negara-negara yang kondisi perekonomian yang kurang baik, karena berdasarkan pengalaman di berbagai negara hasil investasi wakaf uang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di negara yang bersangkuatan. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Adapun pada ayat (2) disebutkan bahwa benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
 
Adapun pada ayat (3) Pasal yang sama disebutkan bahwa benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.   

Dari peraturan perundang-undangan yang ada, wakaf sangat memungkinkan dikelola secara produktif. Yang harus dipersiapkan dengan baik adalah para nazhirnya, karena apabila kita ingin mengelola wakaf secara produktif, maka nazhirnya harus professional. Nazhir adalah salah satu kunci keberhasilan dalam pengelolaan wakaf. Mengingat pentingnya nazhir dalam pengelolaan wakaf, maka dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, nazhir ditetapkan sebagai unsur perwakafan. Nazhir adalah orang yang diserahi tugas untuk mengurus, mengelola, dan memelihara harta benda wakaf. Dengan demikian nadzir dapat diartikan sebagai orang atau pihak yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurus, mengelola, memelihara, dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal.  Dari pengertian nazhir yang sudah dikemukakan jelas bahwa dalam perwakafan nazhir memegang peranan yang sangat penting. Supaya harta itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus-menerus maka harta itu harus dijaga, dipelihara, dan dikembangkan. Dilihat dari tugas nazhir, di mana dia berkewajiban untuk menjaga, mengembangkan dan melestarikan manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya. Jelaslah bahwa berfungsi dan tidak berfungsinya suatu berwakafan bergantung pada nadzir.

 

Wakaf pada dasarnya adalah “economic corporation”, sehingga wakaf merupakan kegiatan yang mengandung unsur investasi masa depan dan mengembangkan harta produktif untuk generasi yang akan datang sesuai dengan tujuan wakaf, baik berupa pelayanan maupun pemanfaatan hasilnya secara langsung. Bentuk-bentuk wakaf yang sudah dikemukakan tersebut merupakan bagian atau unit dana investasi. Investasi adalah landasan utama bagi pengembangan ekonomi. Investasi sendiri memiliki arti mengarahkan sebagian dari harta yang dimiliki oleh seseorang untuk membentuk Modal produksi, yang mampu menghasilkan manfaat/barang dan dapat digunakan untuk generasi mendatang. Investasi yang dimaksud berupa investasi yang kepemilikan dan tujuannya mampu menghasilkan keuntungan yang direncanakan secara ekonomi dan hasilnya disalurkan untuk mereka yang ditentukan oleh wakif dalam ikrar wakaf.

 

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara ekonomi, wakaf (Islam) adalah membangun harta produktif melalui kegiatan investasi untuk kepentingan mereka yang memerlukan yang telah ditetapkan dalam ikrar wakaf. Dengan demikian, hasil atau produk harta wakaf dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, wakaf langsung, yaitu harta wakaf yang menghasilkan pelayanan berupa barang untuk dikonsumsi langsung oleh orang yang berhak atas wakaf, seperti rumah sakit, sekolah, rumah yatim piatu, dan pemukiman. Kedua, wakaf produktif, yaitu wakaf yang dikelola untuk tujuan investasi dan produksi barang dan jasa pelayanan yang diperbolehkan menurut hukum Islam. Dalam bentuk ini, Modalnya (harta wakaf) diinvestasikan, kemudian hasil investasi tersebut didistribusikan kepada mereka yang berhak.  Sebagai contoh, ada seseorang yang sudah mewakafkan tanahnya seluas 10 ribu meter persegi. Kemudian nazhir mencari wakif lain untuk mewakafkan hartanya sejumlah dana yang diperlukan untuk membangun apartemen tersebut. Setelah apartemen tersebut terwujud, kemudian disewakan, hasil sewanya oleh nazhir diserahkan kepada mauquf ‘alaih. Akan tetapi jika nazhir tidak memperoleh wakif yang mau berwakaf sejumlah dana yang diperlukan, nazhir dapat mencari investor atau bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain, baik lembaga pemerintah maupun swasta, seperti nazhir bekerjasama dengan Kementerian Negara Perumahan Rakyat, Departemen Kesehatan, dan lain-lain.

 

Jika para nazhir (pengelola wakaf) di Indonesia mau dan mampu bercermin pada pengelolaan wakaf yang sudah dilakukan oleh berbagai negara, saya yakin hasil pengelolaan wakaf di Indonesia dapat dipergunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial dan ekonomi yang ada saat ini dan masih dihadapi oleh sebagian bangsa Indonesia, seperti kemiskinan, pengangguran, tempat tinggal, dan masalah sosial lainnya, apalagi jika wakaf yang diterapkan di Indonesia tidak dibatasi pada benda tidak bergerak saja, tetapi juga benda bergerak, termasuk uang. Sayangnya, selama ini wakaf yang diterapkan di Indonesia pada umumnya adalah benda tidak bergerak, dan berdasarkan data yang ada di Departemen Agama RI, pemanfaatan tanah wakaf pada umumnya juga bersifat langsung (konsumtif).   

 

Yang menjadi masalah berikutnya adalah mampukah nazhir wakaf yang ada di Indonesia mengelola wakaf sebagaimana yang sudah dilakukan oleh nazhir di negara-negara lain? Untuk menjawab masalah ini tidaklah mudah. Namun apabila kita mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada dan perkembangan ekonomi syariah, pengelolaan wakaf secara produktif sangat memungkinkan untuk direalisasikan. Yang paling penting adalah komitmen bersama antara nazhir wakaf itu sendiri, masyarakat, khususnya umat Islam dan pemerintah untuk mengelola wakaf produktif guna menyelesaikan masalah kemiskinan.

Wakaf Produktif dan Pembangunan Perumahan Rakyat
    

Indonesia adalah salah satu Negara yang dikenal dengan alamnya yang subur, namun kenyataannya masih ada sebagian masyarakat yang hidupnya masih memprihatinkan, sehingga memerlukan perhatian khusus. Tidak sedikit dari mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk tidak memiliki tempat tinggal. Padahal setiap orang berhak mempunyai tempat tinggal yang aman dan layak, yakni tempat tinggal yang dapat melindungi kesehatan fisik dan mental serta kualitas hidup orang yang tinggal di dalamnya. Perumahan yang layak secara umum dapat dipandang sebagai salah satu kebutuhan paling mendasar bagi setiap manusia. Dukungan-dukungan dalam mewujudkan tempat tinggal dan pemukiman yang layak telah beberapa kali digerakkan oleh PBB dan Pusat Pemukiman Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini diawali dengan Deklarasi Vancover Tentang Pemukiman manusia yang disuarakan pada tanggal 1976, yang diikuti oleh aklamasi Tahun Internasional untuk tempat tinggal bagi orang yang tidak memiliki rumah (1987) dan Ketetapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Strategi Global untuk Pemukiman hingga tahun 2000.  Hak atas perumahan yang layak mendapat pengakuan secara universal oleh masyarakat dari berbagai bangsa. Setiap bangsa tanpa terkecuali memiliki sejumlah kewajiban dalam masalah perumahan. Setiap warganegara dalam negara semiskin apapun, dirinya mempunyai hak untuk diperhatikan kebutuhan mereka atas perumahan.

 

Di Indonesia, hak menempati atau memiliki rumah yang layak huni, selain diatur dalam Pasal 40 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM sebagaimana sudah dikemukakan, juga diatur dalam TAM MPR No. XVII/1998 Pasal 29 dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992. Hal ini menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk menyediakan perumahan bagi setiap warnanegara. Sebagaimana sudah diketahui bersama bahwa, pada saat ini Kementerian Negara Perumahan Rakyat memiliki beberapa program yang erat kaitannya dengan penyediaan perumahan rakyat yang kurang mampu, seperti program pembangunan rusunami dan rusunawa. Akan tetapi sehubungan dengan banyaknya penduduk yang harus ditangani dan keterbatan pemerintah dalam menyediakan dana, komitmen pemerintah tersebut belum dapat direalisasikan secara optimal. OLeh karena itu, untuk membantu program-program pemerintah dalam menyediakan tempat tinggal kaum dlu’afa, sudah saatnya kita mengembangkan wakaf secara produktif.

 

Di negara-negara yang sudah mengembangkan harta wakafnya dengan baik, ternyata hasil pengembangan wakafnya dapat dipergunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan membantu permasalahan kaum dlu’afa, termasuk menyiapkan perumahan bagi mereka. Sebagai contoh misalnya, Kuwait, Turki, dan lain-lain.    Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah tanah wakafnya cukup banyak dan luas. Berdasarkan data yang ada di Departemen Agama RI pada bulan Maret 2008 di Indonesia terdapat 430,766 lokasi dengan luas 1,615,791,832.27 meter persegi. Sayangnya, tanah yang begitu luas tersebut tidak dikembangkan secara produktif, sehingga wakaf yang seharusnya dapat membantu masyarakat untuk meningkatkan kehidupan perekonomian umat, kadangkala justru sebaliknya, yakni menjadi beban masyarakat, baik dari segi pemeliharaannya maupun dari segi permasalahan yang muncul. Bahkan tidak jarang kita temui masjid yang tidak dipelihara dengan baik oleh para nazhir, sehingga untuk mengurus dan melestarikannya diperlukan bantuan masyarakat melalui kotak amal yang diedarkan di tengah jalan raya, atau ada tanah wakaf yang dikarenakan kelengahan dari nazhir, akhirnya wakaf diserobot oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini perwakafan di Indonesia belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Alhamdulillah pada saat ini kita sudah memiliki Undang-undang Tentang wakaf, yakni Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

 

Jika diperhatikan, definisi yang dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf tersebut tidaklah begitu berbeda dengan definisi yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, atau definisi yang dipilih oleh Mundzir Kahaf. Definisi yang ada dalam Undang-undang Tentang Wakaf mengandung muatan ekonomi, karena dalam definisi itu disebutkan bahwa wakaf berarti memindahkan harta dari sesuatu yang bersifat konsumsif menjadi produktif dan menghasilkan sesuatu yang dapat dikonsumsi di masa yang akan datang. Harta wakaf produktif ini menghasilkan pelayanan dan manfaat, seperti masjid, rumah sakit, sekolahan, dan lain-lain. Di samping itu, wakaf juga dapat menghasilkan barang atau pelayanan lainnya yang dapat dijual kepada para pemakai dan hasil bersihnya dapat disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan demikian, wakaf merupakan kegiatan yang mengandung unsur investasi di masa depan dan mengembangkan harta produktif untuk generasi yang akan datang sesuai dengan tujuan wakaf, baik berupa manfaat, pelayanan dan pemanfaatan hasilnya secara langsung. Semua bentuk wakaf yang telah disebutkan itu menjadi saham, dan bagian atau unit dana investasi. Sistem wadiah untuk tujuan investasi di bank-bank Islam merupakan bentuk wakaf modern yang paling penting, karena wakaf seperti itu dapat memberi gambaran tentang kebenaran dimensi ekonomi wakaf dalam Islam. Hal ini sebenarnya pernah dipraktikkan oleh para sahabat, bermula dari wakaf sumur Raumah oleh Utsman bin ‘Affan r.a., wakaf tanah perkebunan di Khaibar oleh Umar bin Khattab, r.a., kemudian disusul dengan wakaf tanah, pohon-pohonan dan bangunan oleh para sahabat lainnya. Paradigma wakaf seperti ini juga telah dinyatakan oleh para Imam Mazhab pada abad 2 dan 3 Hijriyyah dalam beberapa kajian dan uraian fikih mereka. Hal ini tidak lain karena saham dan wadiah mengandung makna investasi yang bertujuan mengembangkan harta produktif untuk dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang, sedangkan investasi adalah landasan utama bagi pengembangan ekonomi.

 

Dalam Undang-Undang Tentang Wakaf, selain wakaf produktif juga diatur tentang wakaf uang. Dalam Pasal 28 UU tersebut disebutkan bahwa wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri. Kemudian dalam Pasal 29 ayat (1) disebutkan pula bahwa wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak yang dilakukan secara tertulis. Dalam ayat (2)  Pasal yang sama dinyatakan bahwa wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. Sedangkan dalam ayat (3) Pasal yang sama diatur bahwa sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syari’ah kepada wakif dan nadzir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Proses pelaksanaan wakaf uang ini diatur secara jelas dalam Pasal 22 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 sebagai berikut: Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:
a. hadir di Lembaga Keuangan Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;
b. menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan;
c. menyetorkan secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;
d. Mengisi formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai AIW.
       
Dalam hal Wakif tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, maka Wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya. Hal ini disebutkan dengan jelas dalam Pasal 22 ayat (4). Dalam ayat (5) Pasal yang sama disebutkan bahwa Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada Nazhir di hadapan PPAIW yang selanjutnya Nazhir menyerahkan AIW tersebut kepada LKS-PWU. Di samping Pasal tertsebut, masih cukup banyak pasal-pasal yang berkenaan dengan perwakafan wakaf uang dan wakaf bergerak lain serta peraturan untuk mengembangkannya.

 

Pengelolaan  wakaf produktif dan wakaf uang memang tidak mudah, karena dalam pengembangannya harus melalui berbagai usaha, dan usaha ini mempunyai resiko yang cukup tinggi. Oleh karena itu pengelolaan dan pengembangan benda wakaf, khususnya wakaf produktif dan wakaf  uang harus dilakukan oleh nazhir yang profesional. Diharapkan nadzir benar-benar dapat mengembangkan wakaf dengan baik, sehingga hasil investasi wakaf tersebut dapat dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat. Untuk mendapatkan nazhir yang mampu mengembangkan wakaf secara produktif tentu tidak gampang, tetapi memerlukan waktu. Oleh karena itu untuk menyiapkan pengelolaan dan pengembangan wakaf uang, harus ada lembaga yang siap melakukan pelatihan bagi calon nadzir.

 

Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan wakaf inilah perlunya pembinaan nadzir. Untuk itu di dalam Undang-undang 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Tentang wakaf disebutkan bahwa dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Adapun tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1). Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf;
b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;
c. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;
d. memberhentikan dan mengganti nazhir;
e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

Adapun ayat (2) Pasal yang sama menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah, baik Pusat maupun daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu. Dalam Pasal 50 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan Wakaf Indonesia memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia.   Berdasarkan Undang-undang Tentang Wakaf, Badan Wakaf Indonesia (BWI) mempunyai tanggungjawab untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia menuju era produktif, yaitu wakaf yang dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan umum.

 

Dari peraturan perundang-undangan yang ada, jelas bahwa pada  saat ini umat Islam khususnya dan masyarakat umumnya dapat mengembangkan wakaf secara produktif, baik wakaf benda tidak bergerak maupun benda bergerak. Apabila wakaf yang ada di Indonesia dikembangkan secara produktif, penulis yakin hasil dari pengembangan wakaf tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan umat termasuk menyediakan perumahan rakyat bagi masyarakat yang tidak mampu, dengan catatan wakaf tersebut harus dikelola oleh nazhir-nazhir yang profesional. Mengenai wakaf untuk pembangunan perumahan bagi rakyat yang tidak mampu, menurut penulis ada beberapa cara, pertama, yang bersifat langsung; kedua yang bersifat tidak langsung. Yang bersifat langsung, misalnya wakif mewakafkan sebidang tanah yang ditujukan untuk perumahan kaum dlu’afa, jika wakif tidak menyediakan dana untuk membangun rumah, nazhir mencarikan dana, dapat berupa dana wakaf atau dana lain untuk membangun perumahan bagi mereka. Sedangkan yang bersifat tidak langsung, tanah yang diwakafkan tersebut dikembangkan lebih dahulu oleh nazhir melalui pembangunan rumah mewah tentunya, hasil (keuntungan) dari pengembangan itulah yang dimanfaatkan untuk membangun perumahan rakyat yang tidak mampu. Dalam hal ini nazhir dapat bekerja sama dengan lembaga manapun, asal kerjasama tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam. Di samping dua cara tersebut, masih ada cara-cara lain, tergantung pada kreatifitas nazhir. Keberhasilan Kuwait, Turki dan lain-lain dalam mengembangkan wakaf untuk menyedikan perumahan bagi mereka yang tidak mampu selayaknya kita pelajari untuk kemudian kita ikuti.

 

Sebagaimana negara-negara lain, nazhir di Indonesia seharusnya juga mampu mengelola wakaf melalui berbagai investasi. Dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Tentang Wakaf disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif, antara lain dengan melakukan investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, serta pendidikan atau kesehatan, dan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan syariah. Berdasarkan penjelasan Pasal 43 ayat (2) tersebut, nazhir diberi kesempatan untuk mengembangkan wakaf yang dikelolanya secara produktif sesuai dengan benda yang diwakafkan, tujuan wakif, dan keadaan mauquf ‘alaihnya. Yang paling penting dalam pengelolaan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan selalu berdasarkan syariat Islam.

Penutup

Dari pembahasan yang sudah dikemukakan jelas bahwa apabila wakaf dikembangkan secara produktif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka hasil pengembangannya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial termasuk untuk menyediakan perumahan bagi rakyat yang tidak mampu. Dalam mengembangkan wakaf tersebut, nazhir diperbolehkan bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain, baik swasta maupun pemerintah yang terkait dengan benda yang diwakafkan maupun mauquf ‘alaih-nya seperti Kementerian Negara Perumahan Rakyat. Hanya saja, untuk mengelola wakaf secara produktif, diperlukan nazhir yang profesional. Agar para nazhir dapat mengelola wakaf secara produktif, mereka harus dibina. Adapun lembaga yang bertanggungjawab untuk melakukan pembinaan nazhir adalah Badan Wakaf Indonesia. Walaupun nazhir bertanggungjawab untuk mengembangkan wakaf yang dikelolanya, namun sebenarnya keberhasilan perwakafan di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh nazhir, tetapi sangat tergantung pada komitmen bersama antara nazhir, umat Islam, masyarakat, Badan Wakaf Indonesia dan Pemerintah. Semoga Allah memudahkan semuanya. Amin ya Rabb al-‘alamin.
 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988.
Amin, Hasan ‘Abdullah, Idarah wa Tatsmir Mumtalakat al-Auqaf, Jeddah: al-Ma’had al-Islamy li al-Buhus wa al-Tadrib al-Bank al-Islamy li Tanmiyyah, 1989.
Islamic Research And Training Institute, Management and Development of Auqaf    Properties,   Jeddah, Islamic Development Bank, 1987.
Al- Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Kaairo: Al-Istiqamat, t.t.).             
Jumhuriyyah Misr al-‘Arabiyyah, Qawanin al-Auqaf wa al-Hikr wa Qararat al-Tanfiziyyah, Cayro: Al-Haiah al-‘Ammah li Syuun al-Matabi al-Amiriyyah,   1993.
Jumhuriyyah Misr al-‘Arabiyyah, Qawanin al-Auqaf wa al-Hikr wa Qararat al-Tanfiziyyah, Cayro: Al-Haiah al-‘Ammah li Syuun al-Matabi al-Amiriyyah, 1993.
Kahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida, Jakarta: Khalifa (Pustaka al-Kautsar Grup, 2005.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ahkam al-Waqf, Mesir: Mathba’ah al-Misr, 1951.
Kubaisyi, Muhammad ‘Ubaid ‘Abdullah, Ahkam al-Waqf fi Syari’at al-Islamiyyah, Jilid II, Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1977.
Manna, M. A., “Cash-Waqf Certificate Global Apportunities for Developing The Social Capital Market in 21  -Century Voluntary Sector Banking”, di dalam Harvard Islamic Finance Information Program-Center for Middle Eastern Studies,  Proceedings of The Third Harvard University Forum on Islamic Finance, Cambridge: Harvard University, 1999
Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyidin Mas  Rida, Jakarta: Khalifa, 2005.
Saefuddin, Ahmad M, Studi Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: Media Dakwah, 1984.
Satrio, Rudy dan Fitri Ahlan S, Hak Mendapat Kesejahteraan, Depok: Sentra HAM UI, 2003
Syaukani, Muhamad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Authar, Mesir: Musthafaal-Babi al-Halaby, t.t. Jilid  IV.
Shan’any, Muhammad Ibn Isma’il, Subul al-Salam, Muhammad Ali Sabih, t. t.
Zuhaily, Wahbah, Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Mesir: Dar al-Fikri, t.t. Juz VIII.

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: