Jakarta (12/2/09) | Ketidaksepahaman antara wakif dengan nazhir merupakan aral yang acap kali mengemuka. Setidaknya ini patur dijadikan pelajaran dan instrospeksi diri untuk perbaikan ke depan. Bagaimana aset wakaf bisa berkembang produktif, kalau konflik para pengelolanya tumbuh subur. Ini harus dihindari. Ego individual harus bisa ditekan seminim mungkin, kepentingan umat Islam dan masyarakat luas, mau tak mau, harus lebih didahulukan.

 

Hal ini perlu dikampanyekan, sebab di lapangan, pengelolaan aset wakaf sangat rawan konflik. Kalau terus-terusan konflik, kapan memproduktifkannya? Lalu, bagaimana nasib umat Islam Indonesia, yang masih jauh dari kesempatan mendapatkan pendidikan tinggi dan kesejahteraan?  

 

Kasus ketidaksepahaman antara wakif dan nazhir terakhir terjadi di Riau. Kabar ini tersiar lewat pengakuan salah seorang wakif di Republika, minggu lalu. Berikut ini adalah kisahnya.

 

Hampir 20 tahun, pewakaf tanah Pondok Pesantren Muhammadiyah Mandau dizalimi oleh pengurus setempat. Selama itu pula, para pengurus mengambil keuntungan dari tanah pewakaf tanpa peduli hak dan janji yang harus dipenuhi kepada warga yang notabene adalah warga Muhammadiyah.

 

Berkaitan dengan itu, kami masyarakat pewakaf akan membatalkan hak atas tanah tersebut. Berawal dari tahun 1989, sebanyak 100 orang pewakaf menandatangani pemberian tanah untuk pengembangan Ponpes Muhammadiyah di Desa Petani seluas 30 hektare. Akta wakaf bersyarat itu tertuang dalam surat perjanjian yang ditandatangani camat Mandau, Fahmi Amrie, pada 13 Oktober 1989.

Syarat dari perjanjian itu, intinya, adalah Muhammadiyah diwajibkan melindungi hak-hak para pewakaf. Sesuai butir 1-3 syarat tersebut adalah memperbaiki dan melanjutkan pembangunan jalan, mengukur ulang tanah milik pewakaf setelah dikurangi dengan hak Muhammdiyah sebagai penerima wakaf, dan memperbaiki surat sesuai dengan ukuran baru tersebut.

Namun, malangnya, para pewakaf yang ikhlas menyumbang ini terpaksa berjuang keras untuk menerima hak mereka walau pengurus Muhammadiyah cabang Mandau telah berganti sebanyak lima kali.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pewakaf. Sepanjang tahun 1998 saja, telah belasan kali pewakaf mengadakan musyawarah, termasuk rapat umum yang dihadiri unsur pimpinan Kecamatan Mandau, seperti camat, kepala Kantor Urusan Agama, kepolisian, dan koramil. Berkali-kali pula, para pengurus sangat lalai menindaklanjuti tuntutan pewakaf.

Bahkan, pada pada 1 April 2008, masyarakat pewakaf mengirimkan surat kepada Pimpinan Muhammadiyah Pusat di Yogyakarta, Pengurus Wilayah di Pekanbaru, Pengurus Daerah di Bengkalis, termasuk ke Komnas HAM.

Pasalnya, tanpa musyawarah, pengurus Muhammadiyah cabang Mandau membuat parit besar sekeliling pondok pesantren secara sepihak. Hal itu ternyata telah menyerobot tanah milik salah seorang pewakaf sedikitnya 3 hektare.

Pada rapat 28 Juli 2008, yang dihadiri wakil ketua Muhammadiyah, Duri H Syafei One, disepakati antara lain Muhammadiyah akan menghadirkan Badan Pertanahan Nasional dari Bengkalis untuk pengukuran. Namun, janji bahwa pengukuran pada awal Agustus 2008 tersebut terus diingkari.

Sebagai masyarakat yang lemah, kami pewakaf sudah lelah dan ber harap akan ada keadilan dari 30 hektare tanah yang kami wakafkan. Atas kezaliman Muhammadiyah ini, hanya kami serahkan ke pada Allah SWT. Semoga pihak berwenang dan yang mempunyai nurani di Muhammadiyah Pusat dan Pemerintah Bengkalis tergugah untuk membantu. [rpbk] 

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *