Penulis: H. Anas Nasikhin, M.Si, Sekretaris Badan Wakaf Indonesia
Melanjutkan diskursus kita mengenai peran strategis wakaf uang, kini saatnya kita membedah lebih dalam sebuah potensi ekonomi dan filantropi dahsyat yang dimiliki bangsa ini: potensi wakaf uang nasional. Berbagai kajian otoritatif, termasuk yang secara konsisten disampaikan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan para pakar ekonomi syariah, memproyeksikan angka yang sungguh fenomenal. Potensi wakaf uang di Indonesia ditaksir mencapai tidak kurang dari Rp180 triliun per tahun. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan sebuah gambaran nyata tentang “raksasa tidur” (the sleeping giant) yang jika berhasil kita bangkitkan dan kelola dengan optimal, akan menjadi kekuatan transformatif luar biasa bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan umat.
Namun, ironisnya, di tengah gemerlap potensi tersebut, realisasi penghimpunan wakaf uang secara nasional hingga awal tahun 2024 ini masih berada pada angka yang relatif kecil, yakni baru terakumulasi sekitar Rp2,3 triliun hingga Rp2,7 triliun. Kesenjangan yang begitu lebar antara potensi dan realisasi ini menjadi sebuah refleksi kritis sekaligus pekerjaan rumah besar bagi seluruh pemangku kepentingan perwakafan di Indonesia. Mengapa negeri yang dikenal sebagai salah satu bangsa paling dermawan di dunia ini belum mampu mengoptimalkan potensi wakaf uangnya?
Mengurai Benang Kusut Rendahnya Realisasi Wakaf Uang Nasional
Beberapa faktor fundamental berkontribusi terhadap belum optimalnya penggalian potensi wakaf uang ini:
Tingkat Literasi Wakaf yang Masih Perlu Ditingkatkan: Pemahaman masyarakat umum mengenai wakaf seringkali masih terbatas pada aset fisik seperti tanah untuk masjid, mushalla, atau makam. Konsep wakaf uang sebagai instrumen investasi sosial produktif yang fleksibel dan dapat dijangkau oleh semua kalangan belum sepenuhnya terinternalisasi. Masih banyak yang belum memahami bahwa berwakaf uang bisa dimulai dengan nominal kecil sekalipun.
Profesionalisme dan Akuntabilitas Nazhir: Kepercayaan publik (public trust) adalah kunci utama dalam penghimpunan dana filantropi, termasuk wakaf. Kinerja nazhir (pengelola wakaf) yang profesional, transparan, akuntabel, dan mampu menunjukkan dampak nyata dari pengelolaan wakaf menjadi prasyarat mutlak. Tantangan dalam peningkatan kapasitas dan tata kelola nazhir masih menjadi isu krusial.
Inovasi Produk dan Strategi Pemasaran Wakaf: Produk-produk wakaf uang yang ditawarkan terkadang masih kurang variatif dan kurang menyentuh kebutuhan spesifik atau aspirasi para calon wakif. Strategi sosialisasi dan “pemasaran” wakaf juga perlu lebih kreatif, masif, dan menyasar berbagai segmen masyarakat, termasuk generasi milenial dan Gen Z yang sangat akrab dengan teknologi digital. Kompleksitas beberapa instrumen keuangan wakaf uang juga menjadi kendala bagi masyarakat awam.
Sinergi dan Kolaborasi Antar Lembaga: Koordinasi dan sinergi antara BWI, Kementerian Agama, Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU), organisasi masyarakat Islam, dan lembaga-lembaga nazhir di lapangan perlu terus diperkuat untuk menciptakan ekosistem perwakafan yang solid dan efektif.
Pesantren: Episentrum Potensial Kebangkitan Wakaf Uang Nasional
Di tengah konstelasi tantangan dan peluang ini, institusi pondok pesantren tampil sebagai kandidat paling strategis untuk menjadi episentrum, motor penggerak utama, dalam membangkitkan dan mengoptimalkan potensi raksasa wakaf uang nasional. Mengapa pesantren? Jawabannya terletak pada karakteristik unik dan aset tak ternilai yang dimilikinya:
Skala dan Jangkauan Masif: Indonesia adalah rumah bagi puluhan ribu pondok pesantren. Data Kementerian Agama dan berbagai sumber menyebutkan angka antara 34.000 hingga lebih dari 41.000 pesantren yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Lembaga-lembaga ini mendidik jutaan santri aktif (perkiraan mendekati 5 juta jiwa) dan telah melahirkan puluhan juta alumni. Ini adalah basis massa dan jaringan yang luar biasa besar.
Kepercayaan Umat (Public Trust) yang Tinggi: Kyai dan pesantren secara tradisional memegang posisi terhormat dan mendapatkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. Figur kyai sebagai panutan dan lembaga pesantren sebagai benteng moral menjadi modal sosial yang sangat kuat.
Jaringan Alumni (Ikatan Keluarga Alumni) yang Solid dan Loyal: Inilah salah satu “harta karun terpendam” pesantren. Puluhan juta alumni pesantren tersebar di berbagai lapisan masyarakat, profesi, dan wilayah geografis. Mereka memiliki ikatan emosional (emotional bonding) dan rasa memiliki (sense of belonging) yang kuat terhadap almamaternya. Jaringan alumni ini, jika dikelola dan dimobilisasi dengan baik, dapat menjadi sumber penghimpunan wakaf uang yang sangat signifikan.
Nilai-nilai Keikhlasan dan Keberkahan: Pesantren adalah lembaga yang dibangun di atas fondasi keikhlasan, pengabdian (khidmah), dan pencarian keberkahan. Nilai-nilai ini sangat selaras dengan spirit wakaf sebagai amal jariyah.
Mengkapitalisasi Jaringan Alumni Pesantren untuk Penghimpunan Wakaf Uang Skala Besar
Fokus pada jaringan alumni pesantren sebagai salah satu pilar utama penghimpunan wakaf uang adalah langkah strategis yang harus dioptimalkan. Bagaimana caranya?
Pemetaan dan Pendataan Alumni (Alumni Mapping & Database): Langkah awal adalah membangun database alumni yang komprehensif dan terkini. Ini mencakup informasi kontak, profesi, domisili, angkatan, dan potensi kontribusi. Pemanfaatan teknologi digital untuk sensus dan pengelolaan database alumni menjadi krusial.
Program Keterlibatan Alumni (Alumni Engagement Programs): Mengadakan pertemuan alumni reguler, reuni, seminar, atau kegiatan sosial yang juga mengintegrasikan agenda sosialisasi dan edukasi wakaf uang. Menciptakan narasi bahwa berwakaf melalui pesantren adalah cara untuk terus berkontribusi pada kemajuan almamater dan umat.
Pembentukan Korps Relawan Wakaf Alumni: Mengajak para alumni yang memiliki semangat dan jaringan untuk menjadi duta wakaf atau relawan penggerak wakaf di komunitasnya masing-masing.
Memanfaatkan Figur Alumni Sukses dan Berpengaruh: Melibatkan alumni yang telah sukses di berbagai bidang (pengusaha, pejabat publik, akademisi, profesional) sebagai influencer, endorser, atau bahkan sebagai wakif pionir dengan nominal wakaf yang signifikan untuk memberikan contoh dan inspirasi.
Pengembangan Platform Wakaf Digital Berbasis Pesantren/Alumni: Membuat platform digital (website, aplikasi mobile) yang memudahkan alumni untuk berwakaf secara online, transparan, dan dapat memantau perkembangan pengelolaan dana wakafnya. Platform ini bisa diintegrasikan dengan sistem informasi alumni.
Skema Wakaf Spesifik untuk Alumni: Merancang produk wakaf uang yang ditujukan khusus untuk alumni, misalnya “Wakaf Abadi Alumni untuk Beasiswa Santri,” “Wakaf Produktif Alumni untuk Pengembangan Usaha Pesantren,” atau “Wakaf Pembangunan Infrastruktur atas Nama Angkatan Alumni.” Keterikatan emosional pada proyek spesifik dapat meningkatkan partisipasi.
Transparansi dan Akuntabilitas sebagai Kunci Utama: Memastikan bahwa setiap dana wakaf yang terhimpun dari alumni dikelola dengan sangat transparan, dilaporkan secara berkala, dan menunjukkan dampak yang jelas. Ini akan membangun kepercayaan dan mendorong keberlanjutan partisipasi.
Tantangan dan Langkah Maju bagi Pesantren sebagai Nazhir Wakaf
Tentu, menjadikan pesantren sebagai nazhir wakaf uang yang profesional dan produktif bukanlah tanpa tantangan. Peningkatan kapasitas SDM pengelola wakaf di pesantren, penguatan tata kelola kelembagaan nazhir, serta kemampuan untuk melakukan investasi yang aman dan menguntungkan sesuai prinsip syariah adalah beberapa aspek yang perlu dibenahi dan ditingkatkan secara berkelanjutan.
Badan Wakaf Indonesia, melalui program “Waqf Goes to Pesantren” dan berbagai inisiatif lainnya, berkomitmen untuk mendampingi dan memfasilitasi pesantren dalam menghadapi tantangan ini. Pelatihan nazhir, penyusunan standar tata kelola, hingga pendampingan dalam pengembangan produk wakaf akan terus kami upayakan.
Membangkitkan raksasa tidur wakaf uang nasional adalah sebuah keniscayaan jika seluruh potensi, terutama yang ada di lingkungan pesantren dan jaringannya, dapat kita sinergikan. Pesantren bukan hanya sebagai penerima manfaat, tetapi harus mengambil peran sentral sebagai subjek, sebagai aktor utama dalam gerakan kebangkitan wakaf ini. Dengan demikian, kemandirian pesantren dan kontribusinya bagi kemaslahatan umat yang lebih luas akan dapat kita wujudkan.